Giggs, Beckham dan Del Piero pun Punya KPI

Giggs, Beckham dan Del Piero pun Punya KPI

Sebagai pemerhati sepakbola dan konsultan manajemen, saya melihat liga sepakbola profesional papan atas seperti Premiership (Inggris), Serie A (Italia) dan Primera Liga (Spanyol) adalah suatu “lingkungan kerja” yang menerapkan konsep performance management (manajemen kinerja) secara ideal.

Saya sebut ideal di sini, karena sistem manajemen kinerja di sepakbola menerapkan tiga prinsip yang menjamin efektivitas pelaksanaan sistem tersebut: (1) transparan, (2) obyektif dan  berkriteria jelas, serta (3) konsisten dalam reward and punishment-nya.

Transparan.

Kenapa saya sebut transparan?

Bayangkan, dalam satu pertandingan sepakbola dalam liga-liga tersebut, siapa yang dapat melihat dan menilai performa dari seorang pemain bola?

Selain pelatih sebagai “atasan langsung” sang pesepakbola, rekan satu tim dan puluhan ribu penonton pun menjadi saksi performa seorang Zidane, Vieri ataupun Gerrard. Belum lagi wartawan peliput yang tanpa tedeng aling-aling akan memuja ataupun mengkritisi performa pemain pada koran keesokan harinya.

Ryan Giggs setiap minggu dimonitor pencapaian KPI nya

Tidak ada yang dapat menutupi kalau seorang pemain sedang bermain buruk. Kalaupun pelatih masih menaruh kepercayaan pada pemain andalannya, prinsip transparansi ini membuat para pemain harus “rela” untuk dinilai oleh siapa saja. 

Seorang Ronaldo (Real Madrid) pun kerap mendapatkan “siulan mengejek” dari pendukung Real Madrid karena permainannya dinilai tidak “berkomitmen”. Anda mungkin juga belum lupa penampilan Ryan Giggs yang dianggap “di bawah standar” selama musim 2002/2003, yang berbuah cemoohan pendukung Manchester United setiap ia berlaga di Old Trafford.

Obyektif.

Memang, pelatih dapat berkomentar dengan nada “membela” anak asuhnya, seperti halnya Sven Goran Eriksson yang senantiasa membela kapten tim Inggris, David Beckham, kendati si “Goldenball” kerap menunjukkan performa yang mengecewakan pendukung tim St. George Cross.

Beckham kapten Timnas Inggris yang sering dicemooh karena kurang optimal

Tapi sepakbola punya KPI (Key Performance Indicators) yang obyektif dan jelas. Setiap posisi mempunyai uikuran kinerja yang dapat dinilai oleh semua orang:

  • Kiper akan dinilai dari jumlah penyelamatan yang dia lakukan, jumlah clean sheet yang  ia peroleh.
  • Bek, hampir mirip dengan kiper, selain dinilai dari jumlah clean sheet, juga akan diamati dengan keberhasilan tackling dan intercept bola-bola atas sepanjang pertandingan.
  • Penyerang manapun tidak akan bernilai tinggi apabila dia tidak menyarangkan gol.
  • Pemain tengah, kerap disebut sebagai posisi sentral dalam sepakbola, mempunyai banyak KPI yang bersifat campuran. Dari jumlah assist, jumlah umpan yang berhasil diberikan, jumlah tekel dan kadang juga jumlah gol yang dijaringkan.

Jadi pada saat kinerja Beckham dipertanyakan, sang skipper Inggris memiliki cara sendiri untuk menjawab keraguan kritisi sepakbola. Dalam pertandingan Pra Piala Dunia 2006 melawan Azerbaijan bulan lalu, Beckham membalas kepercayaan Eriksson dengan memberikan 1 assist, dan 1 gol untuk memenangkan timnya. Ia sadar Eriksson tak bisa senantiasa membelanya secara subyektif. Dengan mencapai 2 KPI sekaligus dalam satu pertandingan Beckham membungkam para pengkritiknya secara jelas dan obyektif.

Reward and Punishment.

Selanjutnya, apalah artinya sistem manajemen kerja tanpa mekanisme reward and punishment yang konsisten?

Tim-tim profesional Eropa sudah lazim memberikan bonus kepada tim mereka apabila mereka memenangkan pertandingan.

Di kompetisi klub terakbar di dunia, Liga Champion, setiap poin yang didapatkan oleh tim dihargai dengan uang bonus bagi klub dan pemain. Kadang dalam kontraknya, seorang penyerang top juga mendapatkan bonus atas setiap gol yang dicetaknya, disamping gaji mingguan mereka.

Di lain pihak, dengan prinsip transparansi dan obyektifitas di atas pula, punishment diterapkan.

Del Piero pun kudu terima nasib jadi cadangan

Anda masih ingat mengapa pemain sekaliber Christian Vieri kerap dicadangkan Inter Milan akhir-akhir ini? Rasio jumlah gol per pertandingannya yang mengecewakan merupakan KPI-nya yang tidak tercapai. Ia pun harus rela menerima konsekuensinya. Bahkan seorang “Anak emas ” klub besar seperti Del Piero di Juventus, ataupun Raul di Real Madrid pun tidak luput dari punishment ini  karena penampilan mereka yang terus menerus dibawah ekspektasi. Akibatnya? Mereka pun harus rela untuk duduk di bangku cadangan!

Dan apa akibatnya apabila seorang pemain terus menerus menunjukkan kinerja yang menurun?

Dia tidak hanya dibangkucadangkan, tapi harus siap dilego ke klub lain yang status elite-nya lebih rendah.

Anda mungkin masih ingat nasib John Dahl Tomasson. Tidak berhasil menjadi striker subur di Newcastle United, Tomasson akhirnya dilego Sir Bobby Robson (pelatih Newcastle saat itu) ke Feyenoord, yang notabene kelas liganya di bawah liga Inggris. Ini merupakan “tamparan keras” bagi penyerang nasional Denmark ini. Tapi kemudian Tomasson menunjukkan tajinya di Eredivisie dengan menjaringkan 20 gol lebih dalam musim kompetisi 2002/2003. Reward-nya? Milan pun menarik pemain ini untuk menjadi salah satu penyerangnya yang sukses membawa Milan menjuarai Serie A di musim kompetisi 2003/2004. 

Aplikasi pada Dunia Bisnis Profesional.

Menilik tiga prinsip manajemen kinerja efektif yang diterapkan liga sepakbola profesional di atas tersebutlah, kalangan bisnis perlu memikirkan aplikasinya pada kalangan profesional bisnis.

Pengalaman saya menangani beberapa perusahaan di Indonesia banyak memberikan pelajaran bahwa buruknya sistem manajemen kinerja (karena tidak menerapkan tiga prinsip di atas) menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak perusahaan Indonesia susah untuk bersaing dengan perusahaan multinasional. SDM-nya tidak hidup dalam lingkungan yang menerapkan “high-performance culture”. Orang malas dinilai sama dengan orang rajin. Yang berprestasi baik dihargai sama dengan yang berprestasi biasa-biasa saja. Karyawan jadi tidak terpacu untuk berkompetisi secara sehat, tidak termotivasi untuk menunjukkan kinerja terbaik. Untuk apa?

Oleh karenanya, manajemen perusahaan harus mengidentifikasi KPI-KPI yang dapat secara efektif “encourage the right behaviors”. Ukuran-ukuran ini harus dinilai dan secara konsisten diterapkan “reward and punishment-nya”. Kalau ada yang kinerjanya sedang di bawah standar, tidakkah Anda pikir “kritik yang keras namun obyektif”, akan bermanfaat bagi diri sang karyawan dan perusahaan? Kasus Beckham di atas bisa menjadi contoh.

Sebaliknya, bila Anda punya karyawan junior yang terus menerus menunjukkan kemampuan yang melebihi ekspektasi dari Anda ataupun perusahaan Anda, jangan ragu-ragu untuk memberikan reward yang tidak hanya memuaskan sang karyawan dari sisi finansial, namun juga memberi tanggung jawab dan tantangan yang lebih pada dirinya.

Jangan pikirkan budaya senioritas, kompetensi adalah hal yang paling relevan untuk menempatkan seseorang di tingkatan yang lebih tinggi.

Wayne Rooney, pemain muda asal Merseyside, Inggris, karirnya meningkat pesat karena diberi kesempatan oleh David Moyes, pelatihnya dulu di Everton, dan kini oleh Sir Alex Ferguson di Manchester United untuk banyak tampil di tim utama, kendati umurnya masih di bawah 19 tahun. Pada Piala Eropa tahun lalu ia sudah memperlihatkan kepantasannya mengenakan seragam tim nasional Inggris. Reward yang memotivasi sang bintang muda-lah yang membuat ia terlecut untuk keluar dari “comfort zone“-nya.

Nah, bagaimana apabila sudah di”kritik” sang karyawan masih juga  menunjukkan performa yang mengecewakan?

Kalau saya jadi Anda, saya akan berlaku seperti Sir Bobby Robson di Newcastle. Sudah saatnya “Tomasson” anda di”transfer” ke perusahaan lain. Siapa tahu di sana dia dapat lebih bermanfaat?

Football is a beautiful game. Learn from it. 

Plasa Semanggi, 19 April 2005, 21:13

Leave a comment