
Saya telah menjadi professional di bidang Strategi dan Manajemen SDM lebih dari dua puluh tahun. Mengawali karir sebagai seorang konsultan SDM, lalu kini sebagai Pimpinan Unit SDM di perusahaan publik, memberikan saya banyak pengalaman dan pembelajaran.
Dalam kurun lebih 20 tahun tersebut tentu saja banyak perubahan di dalam praktek dan teori Manajemen. Seiring dengan perubahan landskap bisnis, ataupun yang akhir-akhir ini menyeruak: disrupsi teknologi. Karenanya, tentu banyak konsep Manajemen yang sudah terlihat usang dan tidak lagi relevan dengan perkembangan jaman.
Kendati demikian, dalam tulisan ini saya ingin menjabarkan empat kerangka konsep Manajemen SDM yang saya pelajari di awal karir saya. Yang hingga kini masih saya pegang dan aplikasikan. Karena konsepnya tidak lekang dimakan masa. Prinsip-prinsipnya masih relevan. Dan yang paling penting: aplikatif karena dapat menjadi panduan pola pikir saya dalam memecahkan masalah, ataupun merencanakan tindakan di kasus nyata yang saya alami di pekerjaan setiap hari.
Berikut ini empat kerangka tersebut:
1. Myers Briggs Type Indicator (MBTI)
Walaupun saya kini adalah praktisi Manajemen SDM, saya sejatinya bukan lulusan psikologi. Jadi pemahaman saya terhadap sisi manusia dari sebuah ilmu manajemen sangat minim.
Sebagai seorang Sarjana Ekonomi yang menjalani profesi SDM di awal karir, konsep ini membuka mata saya mengenai sisi kompleks seorang manusia. Diturunkan dari teori psikoanalisis dari Carl Jung, konsep ini “menstrukturkan” kompleksitas perilaku dan pikiran berjuta manusia ke dalam 16 tipe psikometrik yang 75% akurat.
Hasilnya saya jadi lebih mudah memahami perbedaan orang-orang di sekitar saya, dan menjadikan saya sebagai manajer yang lebih baik. Sampai saat ini konsep ini saya pakai. Dari mulai mengenal karakter rekan kerja, membimbing karir seseorang, atau sampai merancang teknik presentasi yang efektif bagi pengambil keputusan. Bahkan untuk keperluan pribadi dalam keluarga, dengan MBTI saya juga dapat lebih memahami preferensi anak saya, sehingga saya bisa mengarahkan mereka ke arah profesi atau karir yang lebih cocok.
MBTI diciptakan oleh Isabel Myers dan ibunya Katharine Crook Briggs . Mereka melandaskan studi mereka dari teori Carl Jung, psikolog terkenal Eropa. Awalnya dilandasi dari ketertarikan mereka terhadap fenomena banyak tenaga kerja wanita yang mereka salurkan selepas Perang Dunia, ternyata sebagian tidak cocok dengan pekerjaan yang diberikan. Namun sebagian lain berkinerja dengan optimal. Ternyata memang hal tersebut tergantung dengan tipe preferensi orang yang berbeda-beda. Myers dan Briggs kemudian mengembangkan kuesioner untuk menentukan tipe preferensi yang kemudian berkembang dan digunakan sampai sekarang.
Saya sendiri mendapatkan sertifikasi sebagai certified administrator di Australia. Sudah lama, tahun 1998. Tapi sejak itu, cara saya melihat manusia jadi berbeda. Dengan kerangka pikir ini, akan lebih mudah bagi saya untuk menerka perilaku seseorang, dan kemudian menyesuaikan gaya komunikasi, atau bagaimana saya bersikap pada mereka.
Menurut MBTI, preferensi setiap orang bisa dibagi dalam empat sumbu:

- (E)xtravert – (I)ntravert: preferensi dari mana seseorang mendapatkan energinya. Bagi Extravert (E) ia lebih banyak mendapatkan energinya dari sisi eksternal. Sedangkan sumber energi seorang yang berpreferensi Intravert (I) adalah dari dalam dirinya sendiri.
- I(N)tuiting – (S)ensing: preferensi seseorang dalam memproses data atau informasi dan mengobservasi alam sekitar. Seorang yang Intuiting (N) cenderung mengasosikan dengan hal -hal yang imajiner ataupun dalam kerangka visualnya. Sedangkan orang Sensing (S) lebih memproses informasi dengan mengandalkan lima panca indera.
- (T)hinking – (F)eeling: preferensi seseorang dalam mengambil keputusan. Seorang Thinking (T) akan mengambil keputusan secara rasional. Menimbang-nimbang data dan fakta secara obyektif, dan prinsip yang dianggap relevan. Sedangkan seorang yang Feeling (F), lebih cenderung terpengaruh dengan perasaan hatinya. Dalam mengambil keputusan mempertimbangkan dampak terhadap orang lain, dan keharmonisan kelompok terdekat. Sehingga terkesan subyektif.
- (J)udging – (P)erceiving: preferensi seseorang dalam mengelola hidupnya. Seorang yang (J)udging lebih cenderung hidup secara teratur, penuh perencanaan yang sistematis dan detail. Sedangkan seorang Perceiving (P) akan lebih cenderung hidup dengan spontan, go with the flow, sehingga kadang terlihat lebih santai.
Dari kombinasi empat sumbu preferensi ini, MBTI membentuk 16 tipe, atau yang kerap disebut MBTI Type Preference. Setiap orang memiliki kecenderungan untuk jatuh dalam salah satu tipe ini.

Dengan mengetahui tipe apa seseorang, maka kita akan lebih mudah dalam berinteraksi, berkomunikasi dan bekerja sama. Karena kita tahu dengan lebih baik, bagaimana seseorang tersebut memproses informasi, mengambil keputusan ataupun kecenderungan mereka untuk bertindak.
Bagi yang ingin mencoba mengetahui tipe MBTI Anda, bisa Anda coba untuk mengikuti online test di link ini. Please note, ini bukan tes MBTI yang resmi. Sehingga akurasinya pun tidak terlalu dapat dipertanggungjawabkan. Tapi menurut saya, sudah cukup baik dalam membantu Anda memahami diri Anda/seseorang dan kemudian menentukan MBTI Type Anda. Anda bisa baca secara lengkap hasilnya di website tersebut. Silahkan mencoba!
2. Total Reward Management
Kalau konsep ini pertama kali saya dengar dari Senior Manager saya waktu di konsultan. Beliau mengadopsi prinsip Total Reward Management dari konsultan reward global Watson & Wyatt (sekarang dikenal dengan Towers Watson)
Dalam konsep ini, kita diajak memahami faktor-faktor apa yang membuat seorang karyawan merasa dihargai dan menjadi “betah” di organisasi.
Dalam konsep Total Reward Management ini, ternyata tidak semua UUD: “Ujung Ujungnya Duit”. Tapi ternyata ada dua faktor lain yang punya pengaruh signifikan terhadap hal tersebut. Lengkapnya, ketiga faktor tersebut adalah:

- Financial – hal-hal yang berkaitan dengan monetary rewards. Seperti gaji, bonus, insentif ataupun manfaat karyawan (employee benefits)
- Opportunity to Grow – kesempatan bagi karyawan untuk berkembang di organisasi. Berkaitan dengan pelatihan dan pengembangan yang didapt, jalur karir yang dapat ditempuh, ataupun impact dari tugas dan pekerjaannya.
- Working Environment – budaya organisasi, lingkungan kerja yang “fun”, hubungan kerja atasan-bawahan dan adanya rekan kerja yang menjadi teman sehari-hari.
Framework ini berguna karena kita jadi dipaksa untuk berpikir lebih luas dalam strategi mempertahankan karyawan. Tidak melulu mengenai masalah uang.
Contohnya, apabila sebuah organisasi tidak memiliki kemampuan dalam hal Financial untuk me-reward karyawannya secara kompetitif di market, maka mereka perlu memikirkan faktor Opportunity to Grow. Misalnya dengan memberikan exposure yang lebih bagi karyawannya untuk mengembangkan diri, atau mendapatkan tugas-tugas yang menantang dan berdampak pada organisasi atau masyarakat luas. Beberapa BUMN negeri memilih strategi seperti ini untuk mempertahankan dan memotivasi talentanya.
Ada lagi juga organisasi yang mungkin tidak bisa kompetitif untuk membayar karyawannya, dan juga tidak punya keleluasaan dalam memberikan pelatihan. Namun karyawannya pada betah. Apa rahasianya? Ternyata memang lingkungan kerja yang menyenangkan. Teman-teman yang sudah seperti keluarga. Banyak kegiatan ekstra kurikuler yang seru. Memang belum tentu menciptakan sebuah lingkungan kerja yang paling efisien ataupun produktig. Tapi dari sisi retention karyawan, ternyata manjur.
3. Four Roles of Human Resources
Pertama kali mendengar mengenai konsep ini di tahun 1999. Saat itu manajer saya di sebuah firma konsultasi internasional baru saja pulang dari Amerika Serikat seusai menghadiri konferensi tahunan. Beliau membawa “oleh-oleh” buku Human Resources Champion karangan Dave Ulrich, yang relatif baru dirilis di Amerika Serikat.
Saya ingat waktu itu konsep yang diusung oleh Professor Dave di buku tersebut, mengenai empat peran fungsi HR. Peran tersebut terbentuk karena nature pekerjaan HR yang terbagi dalam dua axis: yang pertama membagi peran HR yang pada intinya mengurusi dua hal: People dan Process. Yang kedua melihat orientasi waktu dalam mengurusi dua hal ini: yakni Day-to-Day/Operational (transaksi rutin, sehari-hari) atau Strategic (perencanaan, jangka panjang).
Apabila kedua sumbu ini dipertemukan, maka terbentuklah empat peran HR di dalam perusahaan, yakni:

- Administrative Expert – Process + Operations. Hal-hal yang bersifat rutin dan transaksional. Seperti Payroll, Personnel Administration, ataupun Resourcing.
- Strategic Partner – Process + Strategic. Hal-hal yang bersifat perencanaan dan pengawasan fungsi HR dari tataran stratejik dan bersifat jangka panjang. Seperti HR Strategy, Workforce Planning, ataupun Performance Management.
- Change Agent – People + Strategic. Hal-hal yang berkaitan dengan peran HR dalam membantu organisasi dalam melakukan perubahan atau transformasi. Seperti Culture Alignment ataupun Organization Development.
- Employee Champions – People + Operations. Peran HR sebagai penjaga dari morale dan motivasi karyawan. Juga dalam menjaga agar perilaku karyawan sesuai dengan regulasi ataupun nilai-nilai perusahaan. Seperti Employee Communication, Labor Relations.
Kini hampir seluruh perusahaan terkemuka sudah mengadopsi konsep Dave Ulrich ini. Sudah jamak ditemukan perusahaan baik lokal ataupun multi nasional yang membentuk struktur organisasi HR Departmentnya, atau membagi peran HR di dalam organisasinya mengikuti pakem ini.
Selain untuk membentuk desain organisasi HR, kerangka yang simpel namun powerful ini membuat kita lebih mudah dalam memahami peran HR secara holistik. Kerangka ini juga bisa digunakan dalam menyusun inisiatif HR, misalnya.
4. Change Enablement’s 8 Best Practices in Change
Konsep Manajemen Perubahan ini saya dapatkan dari tempat saya bekerja di awal karir. Di perusahaan konsultan yang sudah almarhum: Arthur Andersen.
Di akhir tahun 90-an, Manajemen Perubahan masih merupakan konsep yang asing. Saat saya dikirim ke St. Charles, Chicago, kampus pelatihan Arthur Andersen, ada rekan kerja saya yang mempertanyakan, “ngapain sih lu dikirim ke training itu? Nggak bisa dijual”
Hehehe. Maklum karena saat itu memang yang masih laris dijual adalah konsultasi implementasi standard ISO9000.
Dan ternyata setelah itu Indonesia mengalami reformasi. Dan dilanda krisis karena nilai tukar US Dollar yang melangit. Perusahaan banyak yang kolaps. Dan harus di-turn around.
Belum lagi saat itu mulai semaraknya implementasi software ERP (enterprise resources planning) – seperti SAP dan Oracle. Yang mana membutuhkan perubahan mindset dan perilaku dari penggunanya.
Oleh karenanya konsep Change Enablement yang saya pelajari ini jadi laris manis. Saya sibuk menangani proyek-proyek transformasi organisasi sejak saat itu.
Konsep yang saya dapatkan dari Chicago tersebut sangat membantu saya dalam menangani klien-klien. Disarikan dari berbagai buku dan pemikiran terkenal change theorist, pada intinya Change Enablement framework merekomendasikan 8 praktik terbaik untuk mengelola perubahan (8 Best Practices in Change), yakni:

- Organization Readiness and Business Case for Change. Dalam memulai perubahan, sangat penting untuk memahami kesiapan organisasi untuk berubah. Dan menjawab “why” perubahan tersebut diperlukan.
- Vision for Change. Organisasi juga dituntut untuk memiliki visi yang jelas untuk perubahan. Visi yang dimaksud di sini adalah gambaran mengenai bentuk dan wujud organisasi setelah perubahan. Sehingga mampu menjawab pertanyaan setiap karyawan dampak apa yang terjadi pada diri/pekerjaannya, dan juga pertanyaan krusial: “what’s in it for me?” – apa untungnya buat saya?
- Change Architecture. Untuk mensukseskan transformasi yang berjalan, organisasi dituntut memiliki arsitektur perubahan yang baik dan terstruktur. Project Management yang baik intinya. Mulai dari Project Stages and Plan, Project Management Office sampai Project Charter yang mendokumentasikan secara rinci tahapan, aktivitas dan ukuran hasil yang ingin dicapai.
- Communication Plan. Arguably, one of the most important, yakni strategi bagaimana mengkomunikasikan seluruh proses perubahan kepada konstituen. Dengan disadarinya bahwa sebab terbesar manusia enggan untuk berubah (resistance to change) adalah tidak tahu (not knowing) – maka strategi komunikasi menjadi backbone krusial dalam setiap proses perubahan. Harus dilakukan secara repetitif, multi channel, dan disampaikan oleh pihak yang sesuai dengan audience-nya.
- Leadership Capacity and Stakeholders Commitment. “Change has to come from the top”. Banyak yang berkata begitu. Dan saya setuju. Tanpa komitmen jajaran Manajemen Puncak dalam mendorong proses perubahan, perubahan tidak akan terjadi. Atau tidak akan bertahan lama. Manajemen Puncak harus terlihat “visibility” nya dalam proses perubahan, dan terlihat mampu serta terlibat di dalamnya sehingga seluruh bagian organisasi merasa bahwa ini adalah strategic imperative. You’re coming with me, or you’re left out.
Begitu juga dengan Stakeholders penting lainnya untuk proses perubahan. Harus dipetakan, dan dibangun kepahamannya terhadap perubahan, sehingga mereka bukan hanya mendukung, tapi ikut memiliki. Stakeholders di sini bukan hanya pemegang saham, namun juga dari segala lapisan perusahaan. Seperti Serikat Pekerja, atau sekelompok demografis karyawan lain yang memiliki pengaruh (contoh: Branch Manager) - Team and Individual Capacity. Dalam proses perubahan yang perlu dibangun juga adalah kemampuan individu dan kelompok, sehingga mereka tidak gamang terhadap masa depan. Setelah “not knowing”, resistance to change terbesar berikutnya datang karena karyawan merasa “not able”. Oleh karenanya mereka perlu dibekali dengan berbagai macam pelatihan, sehingga baik dari sisi ketrampilan , perilaku dan mindset akan lebih sesuai dengan yang disyaratkan pada masa depan organisasi.
- Organization Design and Performance Management. Perubahan yang dibangun sejatinya adalah perubahan perilaku manusia. Perilaku yang berubah perlu dijaga agar tidak kembali ke kebiasaan lama. Nah di sinilah dikenal istilah “structure drives behaviors”. Perlu dibentuk supporting structure yang mendorong hal tersebut. Supporting structure ini umumnya adalah hal-hal yang bersifat “hardware“. Visible dan rasional. Mulai dari desain organisasi, struktur remunerasi dan insentif, ataupun kebijakan-kebijakan yang relevan.
- Culture Alignment. Terakhir, perubahan yang dilakukan akan langgeng apabila tercipta keselarasan budaya. Manajemen puncak dari suatu organisasi yang menjalankan perubahan,
Pemahaman terhadap kerangka ini sangat bermanfaat saat saya hendak merencanakan suatu kegiatan implementasi. Kerangka ini membimbing dan mengingatkan saya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang penting, dan hal-hal kritikal yang perlu dibangun dan dilakukan, agar proses perubahan yang sedang dijalankan dapat mencapai hasil yang diharapkan. Dan dapat langgeng perubahannya.
Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Please feel free to reach out, when you want to discuss HR related aspects dengan saya. Terima kasih sudah membaca.