
Sejak menekuni profesi baru (tapi lama) saya sebagai konsultan, saya jadi sering mengajar pelatihan.
Sesuatu yang sebetulnya menjadi passion saya. Berbagi pengetahuan sudah menjadi kegemaran sejak dulu.
Namun mengajar kelas eksekutif bukan sesuatu yang mudah. Terutama eksekutif senior. Kita harus mempersiapkan diri dengan baik. Memastikan penguasaan materi. Dan yang lebih sulit: meladeni tanya jawab. Karena para eksekutif senior ini kan sudah berpengalaman. Kadang pertanyaannya sulit-sulit. Yang untuk menjawabnya kadang butuh pengalaman dan khasanah pengetahuan yang spesifik, untuk menghindari memberikan jawaban yang normatif. Yang tentu saja tidak akan memuaskan para eksekutif senior ini.
Tapi apabila kita berhasil menyelesaikan kelas dengan baik. Apalagi kalau melihat suasana kelas yang positif: peserta yang aktif berinteraksi, mengangguk-angguk paham (atau puas), dan langsung memberikan apresiasi usai mengajar, seketika waktu persiapan ekstra yang kita habiskan menjadi terbayar.
Dua hari ini saya mengalami suasana demikian pada dua kelas pelatihan yang saya ajar. Satu kelas online, dan satu lagi kelas offline.
Mana yang lebih enak? Mengajar kelas online atau offline?

Secara umum, mengajar kelas offline lebih rewarding. Karena kita bisa langsung berinteraksi, dan membaca suasana kelas dengan lebih baik. Walaupun kaki pegal harus berdiri terus hampir seharian, tapi energi yang didapat dari interaksi dan semangat peserta di ruangan membuat kita ikut semangat.
Mengajar online memang lebih tidak menguras tenaga. Kita hanya perlu duduk di depan meja kerja, dan cuap-cuap mengajarkan materi. Tidak ada waktu commuting ke lokasi pelatihan. Walaupun pada kasus saya tidak terlalu relevan, karena lokasi kampus Prasetiya Mulya tempat saya sering mengajar hanya 10 menit dari rumah.
Tapi tidak adanya interaksi langsung, dan sulitnya kita mengobservasi kondisi kelas membuat saya lebih lelah. Mungkin karena saya seorang ekstrovert, yang kudu mendapat asupan energi dari orang lain. Ketiadaan interaksi langsung membuat energi saya yang keluar tidak tergantikan. Apalagi kalau pesertanya kurang aktif bertanya. Yang sering kita temui adalah keheningan dibalik microphone yang muted.
Walaupun sebetulnya para peserta juga bereaksi dengan tertawa karena humor saya, atau mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan. Tapi ya ini jarang terlihat kalau kita tidak mengamati rekaman wajah peserta di layar kotak kecil-kecil media meeting virtual kita.
Demikianlah kisah dua kelas yang saya ajar berturut-turut dua hari ini. Alhamdulillah keduanya berjalan dengan baik.