Ini bukan judul acara TV. Juga bukan omongan seorang sahabat yang putus asa menyakinkan temannya.
Ini hanya gelengan tidak percaya dari seorang penggemar sepakbola.
Serasa belum cukup dengan tersingkirnya dua favorit juara, Arsenal dan Real Madrid, kembali kita dikejutkan oleh kemenangan fantastis Deportivo La Coruna terhadap juara bertahan Champions League, AC Milan.
“Game played out like a dream“, begitu ujar Irureta, pelatih Super Depor mengomentari penampilan anak-anak asuhannya di lapangan semalam. Sementara Ancelotti hanya bisa mengeluh, “The inconceivable happened“. Senada dengan komentar Quieroz, pelatih Real Madrid, “It was a very painful result for all of us“.
Tentu bukan hanya Ancelotti dan Quieroz yang terhenyak dengan kekalahan ini. Para penggemar sepakbola di penjuru dunia juga tak percaya melihat hasil akhir pertandingan perempatfinal ini. Tak sedikit pula yang kecewa. Kekecewaan kepada tim yang tidak hanya sarat kemenangan bersejarah, namun juga kebesaran para pemainnya. Saat semua ekspektasi meninggi mencari pembuktian, Raul, Figo, Zidane dan kawan-kawan bermain kalah semangat dari lawannya. Justru Morientes yang memberikan pembuktian bahwa dia masih memiliki masa depan. Shevchenko, Tomasson dan Kaka tidak mampu mencari celah di tengah derasnya serangan Super Depor, justru Maldini, Cafu dan Nesta yang membuat kesalahan berujung pada gol-gol kekalahan.
Sepakbola memang aneh. Selalu ada kejutan dan hasil yang di luar perkiraan. Sayangnya, hal tersebut tampaknya tak terjadi pada Pemilu kita saat ini.
Walaupun perhitungan suara masih jauh dari final, PDIP dan Partai Golkar masih terlihat sebagai calon “finalis” yang belum tergoyahkan. Hal ini semakin dikuatkan dengan hasil prediksi LP3ES yang menyiratkan kedua partai ini sebagai pemenang. Dan yang lebih mengkhawatirkan adalah fakta bahwa masih banyaknya suara-suara dari daerah “periferi” yang belum terhitung. Kalau menilik hasil pemilu yang lalu, apalagi pemilu sebelumnya, ini adalah basis Partai Golkar dengan segala sejarahnya.
Dengan demikian masihkan ada harapan untuk semangat pembaharuan?
Tampaknya masih, dengan munculnya kekuatan baru dari Partai Demokrat ataupun Partai Keadilan Sejahtera. Hanya dengan prediksi perolehan suara yang hanya berkisar 7%, mereka harus mampu membentuk koalisi oposisi dan kekuatan tandingan. Menyatukan kepentingan dan semangat untuk melakukan perubahan. Menyusun taktik dan strategi koalisi yang mampu menandingi kedua calon juara pemilu kita.
Hati kecil merasa kemungkinan ini tipis.
Tapi siapa yang menyangka Deportivo dan Monaco bisa membalikkan semua perkiraan? Rothen, Giuly, dan Morientes membuktikan bahwa semangat mereka dapat meruntuhkan kebesaran Real Madrid dan segala sejarahnya. Pandiani, Valeron dan Luque membuktikan bahwa sikap berani mati mereka melenyapkan kekuasaan AC Milan sebagai juara bertahan dan yang digadang-gadangkan sebagai tim terbaik di dunia saat ini. Jadi apa salahnya berharap pada Partai Demokrat dan PKS untuk menggalang koalisi mengalahkan sejarah kebesaran Partai Golkar dan sang juara bertahan, PDIP?
Hanya saja, kembali pada realita hidup yang dicerminkan pada sepakbola. Semalam setelah kekalahan timnya, Ancelotti menutup sesi jumpa pers dengan berujar, “It is all very strange, football gives great satisfaction and terrible disappointments“. Jadi di tengah keriaan dan harapan kita akan munculnya kekuatan baru, bersiaplah untuk menerima kenyataan bahwa kekecewaan akan selalu dapat terjadi. Karena manuver politik dalam pembentukan koalisi untuk kekuasaan mungkin akan melahirkan hasil yang tak terduga dan tak terperkirakan oleh para pengamat politik**. Sama halnya dengan hasil pertandingan Liga Champion semalam. (IBeN – 8 April 2004)
*Note: Ini adalah reposting dari entry saya tahun lalu (April 2004). Setelah membacanya kembali, saya rasa menarik untuk melihat tulisan ini kembali di tengah diujinya kepercayaan rakyat pemilihnya kepada duet SBY-JK, dan euphoria Liga Champion yang kembali mengemuka.
**Note: Update one year later, dalam Pilpres 2004 beberapa bulan kemudian, koalisi SBY-JK berhasil mengalahkan kandidat partai pemenang pemilu (Golkar), Wiranto-Salahuddin Wahid, dan lima kandidat capres-cawapres lainnya. Koalisi yang terbentuk dari kandidat partai pemilu membuktikan, bahwa basis pilihan pemilih pada Pemilu lalu bukanlah pada partai, melainkan pada sosok ataupun figur.
