Pantun Coldplay di Jakarta

Suasana konser Coldplay di GBK, dan kami yang hadir dengan kaos dukungan kepada Palestina

Akhirnya konser Coldplay yang ditunggu-tunggu di Jakarta terlaksana juga Rabu malam kemarin. Saya dan Elok hadir di GBK untuk menyaksikan.

Ini untuk kedua kalinya saya nonton Chris Martin dkk. Yang sebelumnya di Bangkok, tahun 2017 lalu.

Tahun ini sebetulnya juga “terancam” kembali nonton di Bangkok. Gara-gara kalah “ticket war” beberapa bulan lalu. Untungnya kurang sebulan dari pelaksanaan konser di Jakarta, teman Elok menawarkan tiket konser di Jakarta. Dengan harga “mark up” yang sangat masuk akal. Yang kalo dibandingkan dengan total biaya nonton lagi di Bangkok tentu jauh lebih murah. Jadilah kita memutuskan untuk hadir di GBK.

Dan benar-benar nggak menyesal. 

Di mana lagi Anda bisa menyaksikan Chris Martin berpantun “Boleh dong pinjam seratus?” Dikejar sampai New York juga gak bakalan dapat itu momen.

Momen yang menurut saya menunjukkan kebesaran band Coldplay sekaligus kerendahan hati Chris Martin dan teman-teman.

Tidak banyak lho artis kelas dunia yang mau take effort untuk belajar melakukan suatu tradisi yang sangat populer di negara tempat konsernya. Bahkan banyak artis lain yang untuk belajar Bahasa lokal saja enggan. And they don’t need to do this. Cukup manggung saja saya yakin Coldplay akan tetap memuaskan penggemarnya yang sudah menunggu lama di tanah air.

Tapi Chris Martin tadi malam tidak hanya berpantun. Dia mengucapkan “Assalamu’alaikum”. Menyapa penonton dalam Bahasa. Mengajak dua penonton beruntung dan Malik D’Essentials manggung bersama. Semua dilakukan secara sincere dan authentic. Yakin, 80.000 penonton yang hadir di GBK semalam langsung leleh hatinya.

Mengajak Malik and D Essentials manggung di B Stage

Coldplay memang bukan artis biasa. Mereka artis kelas dunia. Yang datang dengan membawa nilai-nilai. Beberapanya universal. Seperti dukungan mereka terhadap masalah sampah. Terhadap pelestarian lingkungan. Atau clean renewable energy.

Yang terakhir ini mereka wujudkan dengan inovasi menciptakan kinetic floor di lantai festival. Dikampanyekan sebagai salah satu cara kontribusi penonton memproduksi renewable energy untuk konser. I doubt it produces that much of required energy, but the fans get the idea.

Iya sih ada nilai kontroversial yang dibawa Coldplay di dalam konsernya. Yang sempat memicu unjuk rasa. Apalagi kalau bukan nilai LGBT. Yang biasanya ditunjukkan dengan semaraknya warna warni pelangi di konser mereka.

Suasana panggung konser Music from the Spheres Tour di GBK sebelum dimulai

Di Jakarta ini, sadar dengan penolakan sebagian besar masyarakat Indonesia, mereka tone down sedikit. Walaupun masih menyanyikan lagu “People of the Pride” (Pride, hello?) tapi alih-alih sambil mengibarkan bendera pelangi, Chris Martin mengayunkan bendera putih dengan tulisan “LOVE”.

Tapi berbicara warna warni, memang sejak dulu konser Coldplay menjadi salah satu konser paling atraktif dan impresif dari sisi tata panggung dan lampu. Pemandangan kelap kelip gelang cahaya yang dibagikan ke seluruh penonton sungguh memukau. Mengajak interaksi sekaligus melahirkan impresi. Puluhan ribu penonton disulap menjadi ornamen penyemarak konser yang dinamis.

Sama seperti di Bangkok saat saya nonton terakhir kali, efek paling memikat adalah saat kemilau warna kuning dari seluruh penjuru stadion mengiringi lagu “Yellow” berkumandang. Awesome!

Selain Yellow, hampir semua lagu hits Coldplay dinyanyikan. Dari Adventure of Lifetime, Something Like This sampai Viva La Vida. Tapi menurut saya puncak dari konser semalam ada pada lagu A Sky Full of Stars.

Tata lampu yang memikat saat lagu “Yellow”

Di penghujung lagu ini, Chris Martin menghentikan band-nya bermain. Lalu meminta seluruh penonton untuk menyimpan HP nya. Untuk stop dulu memfoto atau merekam jalannya konser. “You can watch it on YouTube”, kata Chris. “I want you to be with me, live the moment”

How true it was. Saya patuh dengan himbauan Chris. Menyimpan HP di celana. Berdiri, mengangkat tangan, berjingkrak, menyanyi. Puncaknya saat Chris Martin melantunkan lirik “I think I see youuu….”.. then the beat drops. All lights lit up. Fireworks in the sky. Boom. Crowd GBK meledak. Ribuan penonton terasuk dalam euphoria. Kira-kira seperti ini suasananya:

A Sky Full of Stars in River Plate. GBK mirip-mirip ini lah 😊

Ya, kadang kita lupa karena dorongan ingin eksis di social media, kita lupa to live in moment. Sibuk foto. Rekam sana sini. Mengabadikan momen yang sebetulnya tidak akan kembali. Apanya yang abadi?

Tak ada yang abadi.

Dan lagu Fix Me mewakili perasaan saya akan hal ini. Meng haru biru. Terutama saat cresendo: “Tears stream down your face, when you losing something you can’t replace”. Mata basah mengingat Mas Oyi almarhum.

Akhirnya Coldplay menuntaskan konser dengan lagu Byutiful dari album terbarunya. Penutup yang cantik.

Sungguh konser yang luar biasa. Konser yang penuh kontroversi dan cerita. Konser yang menarik banyak perhatian publik Indonesia, terutama masa perebutan tiketnya.

Walau dengan hype yang sedemikian memuncak, Coldplay delivers. Mereka memikat hati ribuan penggemar musik Jakarta. Mungkin konser serupa juga (akan) berlangsung di negara tetangga, tapi yang pertama di GBK ini terasa lebih istimewa.

Please be back soon!

Empat penonton puas saat pulang naik MRT

Leave a comment