Membangun Impian di Langensuryo: Perjalanan Pembangunan Rumah di Yogyakarta

Suasana Pembangunan Rumah Langensuryo

Lima tahun lalu, saya membeli sebuah rumah tua di Langensuryo, Yogyakarta, dari seorang teman kuliah. Rumah ini bukan sembarang rumah; ia adalah rumah peninggalan orang tua teman saya, terletak di dalam kawasan istimewa “Jeron Beteng,” lingkungan benteng Kraton Yogyakarta yang kaya akan nilai sejarah dan budaya.

Sejak awal, saya sudah membayangkan rumah ini menjadi tempat yang penuh makna: tempat nanti saya dan istri akan tinggal setelah pensiun. Tempat berkumpulnya keluarga (anak dan cucu Insya Allah) yang syukur-syukur saat tidak dipakai bisa disewakan. Dan utamanya, juga sumber kebahagiaan dan wujud syukur atas rezeki yang diberikan Allah SWT.

Namun, perjalanan untuk memulai pembangunan rumah ini ternyata tidak semudah yang saya bayangkan.

Tantangan Awal: Pandemi dan Regulasi

Rencana pembangunan rumah ini sempat tertunda karena pandemi Covid-19 yang melanda dunia pada tahun 2020. Seluruh rencana harus ditunda, dan saya hanya bisa bersabar menunggu situasi membaik. Ketika pandemi mulai mereda, saya bersiap untuk memulai pembangunan. Namun, ternyata ada tantangan baru yang menanti. Yogyakarta baru saja mendapat pengakuan dari UNESCO untuk “Sumbu Filosofis” yang menghubungkan Gunung Merapi, Kraton Yogyakarta, dan Laut Selatan. Pengakuan ini membawa dampak besar pada regulasi pembangunan di kawasan tersebut, termasuk di Jeron Beteng.

Jalan masuk ke rumah Langensuryo. Foto ini saya ambil lebih dari 5 tahun yang lalu. Usai gowes mengunjungi daerah ini di hari Minggu pagi yang tenang, saya memutuskan untuk membeli rumah tersebut.

Dengan adanya pengakuan ini, proses pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi jauh lebih ketat. Pemerintah setempat ingin memastikan bahwa setiap pembangunan di kawasan ini menghormati nilai sejarah, budaya, dan filosofi yang terkandung dalam Sumbu Filosofis. Akibatnya, saya harus menunggu selama 2,5 tahun hingga akhirnya IMB untuk rumah saya disetujui pada akhir tahun lalu. Proses yang panjang ini mengajarkan saya tentang kesabaran dan pentingnya memahami konteks budaya setempat.

Memahami Sumbu Filosofis Yogyakarta

Foto Sumber Filosofis Yogya dari drone saya

Sumbu Filosofis Yogyakarta bukan sekadar garis imajiner yang menghubungkan Gunung Merapi, Kraton, dan Laut Selatan. Dalam tradisi Jawa, sumbu ini mencerminkan keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Secara historis, Kraton Yogyakarta dibangun sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan yang menghubungkan kekuatan spiritual Gunung Merapi di utara—simbol kehidupan dan energi—dengan Laut Selatan di selatan, yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya Kanjeng Ratu Kidul, penguasa spiritual dalam mitologi Jawa.

Filosofi ini juga mencerminkan pandangan Jawa tentang kehidupan: manusia harus hidup selaras dengan alam dan menjaga harmoni dengan kekuatan yang lebih besar. Pengakuan UNESCO terhadap Sumbu Filosofis ini tidak hanya menegaskan nilai budaya Yogyakarta, tetapi juga mengingatkan kita semua untuk menghormati warisan leluhur dalam setiap langkah pembangunan.

Langkah Awal Pembangunan: Doa dan Dukungan Keluarga

Minggu lalu, saya akhirnya bisa mengambil langkah konkret untuk memulai pembangunan rumah ini. Ditemani oleh Rafif, saya pergi ke Yogyakarta untuk mengadakan upacara kecil sebagai tanda dimulainya proyek ini. Dalam suasana sederhana namun penuh makna, kami memanjatkan doa kepada Allah SWT, memohon kelancaran, keselamatan, dan keberkahan selama proses pembangunan.

Peletakan batu pertama dan doa di lokasi rumah lama sebelum dirubuhkan

Kebahagiaan saya semakin lengkap karena Oom Thom dan Bulik Ninik, saudara terdekat saya yang tinggal di Yogyakarta, turut hadir mendampingi. Kehadiran mereka memberikan rasa hangat dan dukungan yang tak ternilai. Upacara ini bukan hanya tentang memulai pembangunan, tetapi juga tentang mempererat ikatan keluarga dan menyatukan doa untuk sebuah impian yang sedang diwujudkan.

Harapan untuk Masa Depan

Saya berdoa agar pembangunan rumah ini berjalan lancar, didukung oleh rezeki yang terus mengalir untuk mendanai proyek ini. Lebih dari itu, saya berharap rumah ini nantinya tidak hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga sumber kebahagiaan, rezeki, dan hati yang selalu bersyukur atas anugerah Allah SWT. Saya ingin rumah ini menjadi saksi perjalanan hidup, tempat berbagi tawa, dan ruang untuk terus mengingat kebesaran Sang Pencipta.

Semoga langkah kecil ini menjadi awal dari sesuatu yang besar dan penuh berkah. Aamiin.

Bersama Oom Thom dan Bulik Ninik sesuai acara

Leave a comment