
Seminggu sebelum pentas Jogjarockarta digelar, pihak promotor memberikan kabar kurang sedap: Helloween batal tampil. Karena masalah kesehatan Michael Kiske, sang vokalis, mereka urung tampil sebagai headliner hari pertama konser rock tahunan Jogja ini.
Padahal Helloween adalah salah satu band metal yang paling saya nantikan untuk tonton. Kerap menyaksikan klip live mereka di YouTube, saya bisa bilang mereka masih menjadi tontonan yang menarik. Michael Kiske, walaupun kehilangan rambut gondrong dan tubuh langsingnya, ternyata belum kehilangan kekuatan vokalnya. Tentu tidak bisa dibandingkan saat mereka masih muda. Tapi strategi Helloween yang tetap mempertahankan Andi Deris, vokalis yang saat itu menggantikan Kiske, saat Kiske kembali ke band merupakan keputusan brilyan. Dalam usia yang tidak muda lagi, mereka bisa berbagi energi, dan berbagi bagian menyanyi lagu-lagu Helloween yang terkenal beroktaf tinggi.
Tapi ya sudahlah, terpaksa keinginan menonton mereka tertunda. Semoga promotor masih memiliki perjanjian dengan mereka untuk mendatangkan band metal Jerman ini ke Indonesia tahun depan.
Akhir Sebuah Era
Promotor Rajawali sangat gentleman, dan membuka kesempatan bagi mereka yang mau untuk refund tiket Day 1. Walaupun masih menyisakan Ugly Kid Joe sebagai band internasional yang akan tampil di Jogkarockarta kali ini, tentunya daya tarik sudah sangat berkurang.
Tapi out of my respect to the promotor, saya memilih tidak refund. This promotor has been great to us. Memberikan event ritual tahunan di kota Jogja, yang menjadi kota kenangan saya dan teman-teman dari Bontang sesama penikmat musik rock. Yang membuat kami hampir tidak pernah absen mendatangi Jogja saat event ini digelar. Mulai dari Dream Theater, Megadeth, Extreme sampai Whitesnake.
Dan ini kabarnya adalah event Jogjarockarta terakhir. Yang ditutup dengan dua hari festival rock. Mendatangkan band metal lawas internasional, seperti Helloween (yang urung tampil) dan Ugly Kid Joe di hari pertama. Dan lalu Loudness dan Anthrax sebagai headliner di hari kedua. The end of an era.
Day 1: Ugly Kid Joe
Jadi saya tetap datang ke konser di hari pertama. Kendati sebenernya saya pun tidak ngefans-ngefans banget dengan Ugly Kid Joe. Jujur dulu saya juga tidak beli kaset mereka. Entah kenapa. Hanya dengar hasil pinjam punya teman. Jadi tahu lagu mereka pun beberapa.
Tapi beberapa saat yang lalu saya sempat menyaksikan konser mereka di salah satu festival di Jerman di YouTube. Performa band asal Palo Alto California ini masih prima. Terutama sang vokalis, Whitfield Crane.

Dan saya menjadi saksi hal tersebut di Stadion Kridosono. Datang agak terlambat karena janjian dengan teman-teman kampus untuk konser amal di Grand Pacific, saya sempat menyaksikan penampilan mereka sekitar 8 lagu. Mereka bermain rapi sebagai satu unit. Dan saya harus memberikan apresiasi khusus kepada Whitfield Crane. Vokalnya masih gahar. Dia masih bisa menjangkau nada tinggi. Namun juga tidak kehilangan geraman (growl) nya. Well done, Whit!
Dari 8 lagu tersebut, mungkin hanya setengahnya yang saya familiar. Itu pun ada dua lagu cover Black Sabbath dan Motorhead. Sisanya “Milk Man Son” dan tentu saja their most popular anthem “Everything About You” yang membuat seantero stadion bernyanyi dan bersorak bersama. Lagu favorit saya “Neighbor” ternyata dinyanyikan di awal, yang mana saya ketinggalan.
Day 2 : Loudness dan The Hu
Di hari kedua saya datang agak lebih awal. Jam 8 malam. Saat Loudness dijadwalkan untuk manggung.
Band asal Jepang ini juga tergolong legend di kalangan pencinta rock 80an. Gitarisnya, Akira Takasaki, sempat dijuluki Eddie Van Halen dari Jepang, karena kepiawaiannya bermain gitar.
Dan kepiawaian tersebut masih sangat terlihat kemarin. Masih dengan khasnya berambut panjang jabrik, saya sangat menikmati permainan Takasaki san. Walaupun saya juga tidak terlalu akrab dengan lagu-lagu mereka. Tapi penampilan mereka tetap menjadi aksi kelas dunia. Konser mereka tutup dengan lagu “SDI” yang untungnya saya familiar, dan bisa ikut menyanyikan reff nya.

Setengah jam setelah Loudness tampil, panggung Jogjarockarta diisi oleh band asal Mongolia, The Hu.
Saya yang belum pernah mendengar band ini cukup heran kenapa kok The Hu ditempatkan sebagai band sebelum headliner Anthrax. Dan bukan Loudness.
Ternyata saat mereka manggung saya baru tahu jawabannya. Mereka ini band metal yang unik. Mengkombinasikan unsur metal dan seni musik dari Mongolia. Instrumen yang mereka bawa ke dalam panggung juga menarik. Selain gitar, bas dan drums yang biasa dimainkan band lain, The Hu menghadirkan duo cello players. Alat musik gesek yang dikonversi menjadi instrumen metal. Dan di belakang juga ada pemain perkusi yang menabuh gendang besar. Hasilnya adalah sebuah komposisi metal yang groovy, keras, dan asyik. Walaupun lirik yang dinyanyikan oleh sang vokalis kita sama sekali tidak tahu artinya. Tapi the HU terbukti sukses memikat perhatian penonton Kridosono. Apalagi saat mereka menyanyikan lagu “The Trooper” dari Iron Maiden. Satu stadion riuh dengan sambutan membahana.
Puncak Penampilan: Anthrax
Tapi tetap saja puncak penampilan adalah sang headliner: Anthrax. Band thrash metal asal Amerika Serikat yang termasuk dalam Big 4 Metal band bersama dengan Metallica, Megadeth dan Slayer.
Anthrax memulai konser dengan sangat berenergi. Walaupun sudah berkepala enam, Bapak-bapak dari New York ini masih sangat prima. Mereka langsung tancap gas dengan lagu “A.I.R” yang diambil dari album mereka “Spreading the Disease”.
Mendengar dan menyaksikan langsung Joey Belladonna, Charlie Benante, Scott Ian dan Frank Bello menyanyikan lagu ini, membuat jiwa raga saya seketika kembali ke masa muda. Tepatnya saat masih SMP.
Saat itu saya pertama mengenal Anthrax dari video klip mereka “Madhouse”. Yang membuat saya penasaran dan mencari kaset mereka ke toko di Berbas, Bontang. Dan akhirnya kemudian membeli album “Spreading the Disease” ini.

Sejak saat itu, Anthrax menjadi salah satu band metal yang saya terus ikuti dan beli album-albumnya. Mulai dari “Among the Living”, “State of Euphoria”. Bahkan juga di tahun 90an, era saat Joey Belladonna digantikan oleh John Bush, mantan vokalis Armored Saint. Saya mengkoleksi dua album: “Sound of White Noise”, dan “Stomp 442”
Saat Joey Belladonna kembali reuni di tahun 2010, saya pun kembali mengkoleksi dua album terakhir mereka: “Worship Music” dan “For All Kings”.
Jadi saya tahu semua lagu Anthrax malam itu. Tidak ada yang terlewat. Dan play list Anthrax jauh berbeda dengan play list yang saya lihat di setlist.fm yang biasanya akurat. Banyak kejutan. “Medusa” dan “Metal Thrashing Mad” merupakan dua lagu obscure yang saya tak sangka dinyanyikan. Juga lagu rap-metal “I’m The Man” yang menghadirkan Scott Ian dan Frank Bello sebagai vokalis. Really fun.
Lagu-lagu tersebut dihadirkan bersama lagu-lagu Anthrax yang lebih populer, seperti “Got the Time”, “Antisocial”, dan “Be All End All”. Saat lagu-lagu ini ditampilkan fans metal Kridosono menggila. Mereka membentuk membentuk mosh-pit. Berlari memutar di tengah kerumunan penonton di depan panggung.
Menyaksikan scene tersebut, saya berujar ke Andit, teman kantor yang bersama saya nonton konser malam itu: “Dit, kalau Indians dimainin, gua bakal join Mosh Pit”. Andit menyambut dengan tawa.
Memang, lagu yang saya tunggu-tunggu adalah anthem klasik mereka: “Indians”. Lagu favorit saya dari seluruh repertoire Anthrax, yang dirilis di tahun 1987 di album “Among The Living”
Lagu ini sering dijadikan lagu penutup konser Anthrax. Begitu pula malam itu.
Puncaknya adalah di bagian usai solo gitar lagu ini. Saat bridge “War Dance”. Fans Anthrax tahu kalau ini saatnya menjadi “Indians”. Saatnya berlari berkeliling di area mosh pit. Saatnya saya dan Andit bergabung dengan metal heads lain. Lupa usia. Lupa sakit punggung. Dan lupa handphone (ya, HP saya hilang di konser ini, but that’s another story). Yang ada hanya euphoria melepaskan seluruh perasaan dan permasalahan dalam satu momen yang tidak terlupakan. Not even losing my phone would stop me enjoying this moment.

Dan moment luar biasa ini terekam dalam reel yang dibuat oleh Majalah Hai. Dalam Reel yang merekam momen saat War Dance tersebut, saya juga tertangkap kamera sedang berjingkrak dan berlari di area Mosh Pit. Hahaha.
Sound silly, dan mungkin terlihat konyol orang berusia kepala lima seperti saya masih ikut-ikutan aksi mosh pit seperti itu. Tapi kalau ini merupakan akhir dari era saya menjadi penonton setia Jogjarockarta festival, maka momen memorable ini menjadi momen penutup yang paling pantas.
Thank you Jogjarockarta! You’ve been amazing!
