Di-prank Jokowi

Jokowi: Diawali dengan Infrastruktur, diakhiri dengan Politik Dinasti (karikatur sumber: Tempo)

Tweet dari Presiden Jokowi di tahun 2018 itu saya retweet. Saya tambahi dengan komentar, “Perfect family Pak Jokowi. Bapak ini disrupsi figur presiden (dan keluarganya), anti tesis dari presiden dan capres yang kita punya selalu ini. Insya Allah selalu amanah dan barokah ya Pak”

Tweet saya kepada Pak Jokowi di tahun 2018

Siapa sangka lima tahun kemudian, kondisinya berubah 180 derajat? Cuitan Pak Presiden saat itu yang mensyukuri anaknya mandiri, dari jualan kopi, martabak sampai pisang goreng, sungguh berbeda dengan lazimnya politikus Indonesia. Yang gemar mengedepankan anak dan keluarganya sendiri untuk turun ke kancah politik demi melanggengkan kekuasaan. Sedari jaman Soeharto, SBY dan Megawati. Tidak hanya level Presiden. Level Menteri juga banyak.

Saya jadi ngerasa di-prank Pak Jokowi.

Pendukung Jokowi

Mungkin sudah jadi rahasia umum kalau saya adalah pendukung Jokowi. Dua kali pemilihan Presiden terakhir ikut memilih bekas Walikota Solo ini jadi Presiden dua periode. 

Dan untuk sebagian besar program pembangunannya, saya pun mendukung. Mulai dari Jalan Tol, Kereta Cepat, UU Cipta Kerja. Termasuk pula IKN. Mungkin kalau ditanya tingkat kepuasan saya terhadap kerja beliau dalam dua periode ini masih termasuk lumayan tinggi.

Tapi kejadian absurdnya proses keputusan Mahkamah Konstitusi, yang dikulminasi dengan majunya Gibran sebagai Cawapres Paslon 02 membuat saya tidak lagi bisa memilih Paslon 02 di pemilu ini. Yang notabene adalah kelanjutan pemerintahan Jokowi.

Tanda-tanda di Awal Periode Kedua

Sebetulnya bau-bau amis pemerintahan Jokowi sudah saya cium di awal periode kedua. Bahkan saya sempat nge-tweet yang menyamakan periode kedua Jokowi seperti saat periode kedua SBY. Yang mengecewakan.

Dengan bergabungnya Prabowo, yang sebelumnya kontestan lawan di Pilpres 2019, menjadi Menteri di Kabinet Periode kedua, pemerintahan Jokowi terasa mengarah ke bentuk oligarki. Koalisi besar yang dibentuk memang membawa stabilitas politik. Pembangunan proyek-proyek strategis berjalan lancar. Suara kritis anggota Dewan terdengar sayup-sayup. Karena sebagian besar Partai Politik masuk ke dalam pemerintahan. Dus, bagi-bagi kursi dan kekuasaan pun jadi jamak. Sirna harapan kabinet diisi orang-orang professional seperti saat periode pertama. Yang ada banyak kebijakan dan keputusan yang mengakomodasi kepentingan bisnis lingkaran terdekat.

Hal ini diperparah dengan pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sistematis. Jokowi merasa KPK terlalu kuat sehingga mengganggu pembangunan. Seperti yang pernah diberitakan oleh Tempo, Jokowi menganggap banyak program kepala daerah yang macet karena gerak gerik diawasi secara ketat oleh KPK. Dengan koalisi yang hampir absolut di eksekutif dan parlemen, UU KPK pun direvisi. Firli Bahuri, yang saat menjadi Deputi Penindakan KPK beberapa kali terkena pelanggaran etik, justru diangkat sebagai ketua KPK sampai sekarang. KPK jadi terkesan tebang pilih, Tumpul saat menghadapi kasus-kasus yang berkelindan dengan pihak yang dekat dengan kekuasaan.

Belajar dari China

Terus terang saat itu saya masih berusaha “memahami” Jokowi. Dari dulu memang saya lihat Jokowi ini patron pembangunannya adalah China. Saat pertama kali berkunjung ke China setelah menjabat menjadi Presiden di tahun 2014, Jokowi pulang membawa oleh-oleh pelajaran. Resep China sukses dari Presiden Xi Jinping: “(1) Membangun infrastruktur; (2) Membangun SDM; (3) Kuasai Parlemen.

Untuk yang pertama, pasti kita semua merasakannya. Pembangunan infrastruktur masif di mana-mana. Jalan tol, airport, pelabuhan. Kendati menyisakan PR besar berupa kolapsnya perusahaan BUMN Karya yang dipaksa menjadi agen pembangunan.

Untuk anggaran pendidikan, meningkat pesat di masa Presiden Jokowi. Selama 10 tahun terakhir, Jokowi mewajibkan alokasi 20% anggaran dari belanja negara ke sektor pendidikan. Yang paling banyak menghabiskan anggaran. Anggaran pendidikan melesat 100% atau dua kali lipat dari Rp 332,82 triliun pada 2013 menjadi Rp 665 triliun pada 2023.

Nah, yang terakhir – Kuasai Parlemen – mulai terwujud di Periode Kedua pemerintahannya. Dengan terbentuknya koalisi besar berbau oligarki tadi.

Upaya Melanggengkan Kekuasaan

Mulusnya jalan pemerintahan Jokowi di periode kedua inilah (yang minim “gangguan” dari Parlemen dan KPK), yang membuat ide “tiga periode” dilontarkan. Dengan dipakainya pandemi sebagai alasan. Usaha ini tapi gagal. Tidak mendapat dukungan untuk perubahan konstitusi.

Kubu Jokowi pun mencari cara melanggengkan pemerintahan. Atau kalau dari dalih mereka: “melanjutkan pembangunan yang selama ini sudah berjalan. Tidak merubah arah pembangunan dengan perubahan pemerintahan, untuk memanfaatkan bonus demografi demi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045”

Keberlanjutan Jokowinomics ini kemudian disematkan pada sosok Prabowo. Simbiosis mutualisme tercipta. Prabowo merasa ini “His Last Dance”, setelah tiga kali kalah dalam Pilpres. Jokowi merasa memiliki kendaraan untuk melanggengkan kekuasaannya.

Banyak diberitakan majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo bukan merupakan pilihan utama Jokowi. Saya pun menganggap (dan setengah berharap) demikian. Nama-nama seperti Erik Tohir, Airlangga Hartarto sampai Khofifah sempat mencuat. Namun dinamika politik yang terjadi di partai-partai koalisi Paslon 02 sepertinya melihat Gibran sebagai jalan tengah yang dapat diterima oleh seluruh partai peserta koalisi.

Di lain sisi, pihak yang skeptis akan mencurigai bahwa ini sudah skenario Jokowi dari awal. Memajukan Gibran sebagai cawapres. Mendorong Kaesang sebagai Ketua Partai PSI. Melengkapi putra mantu Jokowi yang duduk sebagai kepala pemerintahan, menyusul mantunya Bobby di Medan. Dalam hitungan bulan, keluarga Jokowi menjelma menjadi sosok dinasti politik. Jokowi tidak berbeda dengan pendahulunya, Soeharto, SBY dan Megawati yang sama-sama mendorong anak keturunannya untuk terjun ke dunia politik.

Bahkan ini lebih parah. Karena majunya Gibran adalah hasil dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berdasarkan telaah Mahkamah Kehormatan MK banyak terjadi pelanggaran etika. Yang mengakibatkan Ketua MK, Anwar Usman, yang notabene adalah paman Gibran sendiri, dicopot dari jabatannya. Pencalonan Gibran pun disebut sebagai “anak haram konstitusi”

Not at all cost.

Saat Gibran dicalonkan itulah menjadi titik nadir dukungan saya kepada Jokowi. Dan saya yakin banyak pendukung Jokowi lainnya. That’s it. Walaupun yang dilakukan tidak melanggar Undang Undang, namun sulit untuk tidak melihat hal ini sebagai praktek kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh Jokowi untuk keluarga dan kepentingannya sendiri.

Saya memang mendukung arah program pembangunan Jokowi selama ini. But not at all cost. And dare I say it, Jokowi telah melakukan “penghianatan”. Penghianatan kepada pendukungnya (seperti saya). Penghianatan terhadap nilai-nilai yang dulu kita percayai ada pada dirinya. Penghianatan terhadap praktek demokrasi yang berhasil membawanya dari Walikota, Gubernur sampai menjadi Presiden RI dua periode.

Terima kasih Pak Jokowi sudah menyadarkan saya lagi untuk kembali tidak percaya pada politikus. Menyitir dari lirik lagu populer Brian May, “too much love will prank you”.

Leave a comment