
Hari Sabtu sore itu saya sampai di area waduk Jatiluhur. Lokasi event ITB Jatiluhur Triathlon 2025 yang saya ikuti. Ditemani anak saya Rafif, saya mengambil race pack sekaligus melakukan bike check untuk lomba keesokan pagi.
Karena waktu bike check masih 30 menit lagi, saya gunakan waktu untuk mencoba bike route. Saat technical meeting lomba memang sudah di share peta rute untuk bike leg. 5 loop bersepeda dengan gradient rata-rata 6.6%. Total Elevation Gain 750 meter. Bukan main-main. Sudah lebih dari tanjakan ke Sentul Km 0.
Saat memasuki area Jatiluhur juga sudah terbayang rutenya. Karena jalan menuju tempat event merupakan jalan yang berliku dengan tanjakan dan turunan curam.
Kena Mental
Benar saja, saat saya mencoba rute sepeda kemudian, keinginan untuk membatalkan kepesertaan lomba menyeruak. Istilah anak sekarang “kena mental”.
Secara saya tidak dalam kondisi fisik terbaik. Baru pulih dari low back pain. Dan sudah berapa bulan tidak bersepeda. Apalagi dengan rute menanjak seperti ini. Apakah punggung saya kuat? Besok setelah selesai swim leg, apakah saya akan kuat menyelesaikan bike leg ini?
Bahkan sejujurnya, saat saya sedang berhenti dan menikmati pemandangan alam sekitar Jatiluhur, saya sempat berniat menelepon Rafif untuk di rescue. Karena melihat jalur menanjak yang harus dilalui untuk kembali ke tempat bike check.

Saya mengurungkan niat tersebut. Saya kuatkan mental untuk menanjak rute kembali ke tempat Rafif menunggu. Memang berat, tapi bisa dilalui dengan sedikit dituntun. Sembari berpikir, sekarang saja sudah menuntun, bagaimana besok?
Seandainya saat itu Rafif menyarankan kepada saya untuk tidak memaksakan diri mengikuti lomba, saya mungkin akan langsung mengiyakan. Tapi dia malah bersaran, “you just have to pace yourself Pah.. go easy on the swim and run…”
Nasehat Rafif itu masuk ke kepala saya. Saya pun melanjutkan proses bike check. Memparkir sepeda di transition area. Siap untuk lomba besok.
Saat itu juga saya melihat seorang ibu-ibu muda sedang bike check. Mohon maaf, mungkin terlihat seksis, tapi saat itu saya berpikir, “si Ibu saja bisa, masa saya nggak bisa?” Hehehe.
Saatnya Lomba: Terulang Lagi
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali jam 4 pagi saya sudah berangkat dari hotel menuju area lomba. Menyiapkan perlengkapan di transition area. Dan sambil menunggu lomba Aquathlon menyempatkan diri untuk swim test di air waduk Jatiluhur.
Jujur, saat sedang swim test pun sempat terbersit keinginan untuk tidak ikut lomba lagi. Melihat buoy oranye 250 meter dari tempat start kok terlihat jauh sekali. Hahaha.
Tapi akhirnya saya start juga.

Dan terulang lagi kelemahan saya saat lomba triathlon di open water ini. 50 meter pertama adalah jarak paling berat. Start bareng-bareng dengan puluhan perenang lainnya, seperti menyerap energi saya. Heart Rate naik tinggi. Badan jadi lemas. Saya pun harus minta berpegangan ke salah satu kano rescue sambil berupaya mengumpulkan energi.
Saya ingat Jurus Ninja saya di saat seperti ini yang saya pernah praktekkan di lomba triathlon sebelumnya: berenang dengan gaya dada. Dan itu yang saya lakukan. Walaupun pelan, tapi perlahan saya maju ke depan mendekati buoy pertama. Stroke by stroke. Meter by meter.
Baru di 250 meter terakhir saya full bisa berenang dengan gaya bebas.
Menyelesaikan swim leg biasanya membuat saya lega di event triathlon lain. Tidak kali ini. Karena terbayang rute sepeda yang menyiksa di depan.
Bike Leg: Torturous
Seperti yang sudah saya bayangkan, jalur sepeda di ITB Triathlon ini benar-benar berat. Pada putaran pertama pun saya sudah sukses tiga kali turun dari sepeda untuk menuntun di tanjakan.
Satu putaran berjarak sekitar 3 km. Dengan tanjakan dan turunan yang sama curamnya. Saat turun pun kita harus berhati-hati. Tangan harus menekan rem depan dan belakang. Kalau tidak alamat bisa meluncur deras dan berpotensi hilang kendali. Belum lagi di ujung loop di mana kondisi aspal kurang mulus. Harus teliti memilih bagian jalan yang agak mulus.
Saat mau menyelesaikan putaran kedua, kembali keinginan untuk DNF muncul. Membayangkan masih harus menyelesaikan 3 putaran lagi yang menyiksa.

Di tengah kegalauan itu, saya mencoba mempraktikkan teknik menanjak dengan zig zag. Yang ternyata bisa membantu mengurangi gradien tanjakan, walaupun menambah sedikit jarak. Semangat saya mulai muncul kembali.
Saya pun akhirnya dapat menyelesaikan bike leg dengan waktu hampir 2 jam. Dengan konsisten menuntun pada Climb 3 yang gradiennya tertinggi dan jaraknya terpanjang. My lack of exercise took its toll.
Finish in High Note
Leg terakhir, yaitu berlari saya dapat selesaikan dengan baik. Walaupun tetap harus berjalan pada tanjakan pertama saat baru keluar dari area transisi, dan Climb 3, namun secara keseluruhan saya cukup puas dengan performa saya di run leg ini.

Apalagi memang keistimewaan jalur lari di ITB Triathlon ini adalah pada saat kita melintasi waduk Jatiluhur yang menawarkan pemandangan yang indah dan unik. Saat melintasi itu pula headset saya mengumandangkan lagu “The Boys are Back in Town”. Endorphin memuncak. Pegal dan lelah dari bike leg tetiba hilang. Saya bisa mempercepat pace dan sambil berdoa syukur kepada Allah SWT yang masih memberikan kesehatan dan kemampuan bagi saya di usia yang sudah tidak muda lagi.

Yeah I’m back. Back from the dead. Back to competing in triathlon event I love.
Akhirnya saya bersyukur dan bangga terhadap diri saya sendiri yang mengalahkan keinginan untuk berhenti. As I wrote on my social media post:
There were times I thought about quitting during the race. At the bike route test. During the swim test. First 100 meters of swim leg. Second lap of that torturous bike leg. But my mind said no. I soldiered on. Stroke by stroke, meter by meter, step by step. Until finish line.
Despite it’s my worst triathlon timing result, but I’m proud of finishing the race given all of the circumstances.
And that’s the story of our lives, really. Be grateful. Work hard. Never quit. Niat baik, kerja keras. Insya Allah diridhoi. Aamiin.

Epilog: Official Timing and Standing
