Lomba Maybank Bali Marathon (MBM) yang saya ikuti weekend kemarin, bisa saya katakan sebagai lomba lari yang paling menyenangkan bagi saya. Bukan dari kualitas penyelenggaraan event-nya sih (yang menurut saya malah menurun dibanding tahun lalu. More on this later in Epilogue). Tapi lebih kepada pengalaman saya selama lomba.
Persiapan yang kurang ideal
Usai menunaikan ibadah haji sebetulnya saya sudah berkomitmen untuk mempersiapkan diri mengikuti MBM ini. Mengambil jarak Half Marathon, saya masih merasa jarak segini masih cukup menyulitkan. Kalau 10K istilahnya merem lah. Sepanjang “karir” saya berlari, saya hanya pernah dua kali lari Half Marathon. Yang pertama latihan sendiri, yang kedua pada event Jakarta Marathon tahun lalu.
Dua-duanya berat bagi saya. Terutamanya di 3-5 km terakhir. Rasanya kaki sudah tidak bisa diajak kompromi. Dan nafas hanya bisa dibawa berlari 500 meter maksimal sebelum akhirnya harus berhenti.
Saya pun bertekad untuk tidak mengalami lagi lari seperti ini. Jadi saya mengikuti program latihan lari. Yang mengharuskan saya untuk long run, paling tidak 15 km di setiap minggu. Dan menyempatkan diri untuk easy run 5 km di tengah-tengah minggu. Sebetulnya di program lari tersebut, saya juga harus melakukan various pace run di track. Tapi sudahlah, corporate slave begini godaan ngantuk di pagi harinya lebih besar. Hahaha.
Melakukan program latihan di atas pun selama 1.5 bulan juga saya masih bolong-bolong. Tapi paling tidak saya berusaha untuk melakukan long run as advertised. Tapi ternyata tidak mudah.
Percobaan pertama saat berada di Singapore. Niat ingin melakukan paling tidak 15 km lari. Tapi ternyata hanya kuat 10 km. Entah kenapa.
Yang kedua saat 17 Agustus kemarin. Saya menargetkan lari 17,8 km untuk memperingati Hari Kemerdekaan sekaligus latihan long run.

Berhasil sih, sampai jarak 17,8 km. Tapi Masya Allah, ternyata masih struggling at the end. Tertatih-tatih di 3 km terakhir. Lari, jalan, berhenti lari lagi. “Bisa gawat niih di Bali Marathon”, begitu pikir saya saat itu. Apalagi memikirkan course MBM yang konon banyak tanjakan.
Ternyata saat saya meng-evaluasi long run saya tersebut, saya menyadari kesalahan saya. Pace saya terlalu cepat di awal. Saat lari 17,8 km kemarin, 3 km pertama pace saya di bawah 6, atau pas di 6:00. Akibatnya energi terlalu banyak terkuras di awal.
Memetakan Game Plan
Oleh karenanya, saya mulai memetakan game plan untuk MBM. Dengan melihat peta topografi course MBM Half Marathon, saya ketahui kalau jalur akan menanjak terus dari awal Start sampai Km 14. Baru setelah itu akan turun sampai finish.
Dari sini saya berencana untuk mengatur pace di awal. Karena jalur juga menanjak, sepertinya tidak ada gunanya untuk ngebut di awal. Baru setelah course menurun saya rencana tancap gas sampai garis finish.

Dan rencana inilah yang saya eksekusi. Dan inilah alasan kenapa lomba saya terasa begitu menyenangkan.
Begitu start, berbeda dengan lomba tahun lalu, saya tidak merasa gusar kalau jalur lari saya tertutup banyaknya peserta yang start. Konon dari 13.000 peserta lomba tahun ini (record participants), jumlah terbanyak dari Half Marathon. Tak heran kalau saat start, seperti karnaval pawai kemerdekaan. It’s packed from left to right. Tidak bisa lari, lebih banyak jalan cepat.

Tapi saya pikir malah untung. Saya jadinya tak tergoda untuk langsung lari cepat. Saya ikuti pace kelompok. Sekitar 7 menitan. Sambil sekali-sekali menerobos, nyalip, kalau di depan saya terlalu lelet.
Pertama kali saya menengok jam Garmin saya, saya terkejut. Loh sudah 2,4 km. Padahal perasaan mesin masih adem.
Dan mungkin ini efek saya lari dengan pace lambat. Tenaga tidak banyak terkuras. Jarak terasa pendek. Kalau lari sendiri saya pasti sudah tidak sabar. Tapi karena ini banyak barengannya, jadi saya mengikuti arus saja. “Simpan tenaga untuk tahap akhir”
Lomba yang Nyaman
Mengikuti game plan ini, saya berhasil sampai di Km 10 tanpa hambatan. Terasa nyaman. Tidak capek. Padahal jalanan mulai menanjak sejak Km 4. Saat sudah mulai masuk ke area pedesaan. Untungnya pemandangan sawah dan kampung yang indah dan sorakan dari anak-anak dan penduduk sekitar semakin membuat kita bersemangat. Belum lagi udara segar Bali di bulan Agustus yang terbantu dari winter breeze Australia.

Tapi setelah itu ternyata saya masuk fase paling berat di course HM Bali Marathon ini. Yakni Km 10-14. Dari peta elevasi memang terlihat ini segment paling menantang. Nanjak terus. Tak heran di sekitar saya banyak saya temukan fellow runners yang kakinya keram. Memilih duduk beristirahat di rumah penduduk. Bahkan ada yang sampai muntah-muntah di pinggir jalan.

Saya sih tetap setia dengan game plan saya. Pace nyaman saja. Tekad saya adalah terus berlari dan tidak berjalan. Bahkan di tanjakan. Saya memilih tidak melihat ke depan. Karena kadang melihat jauhnya ujung tanjakan membuat nanar. Efek psikologisnya mempengaruhi kekuatan dengkul. Jadi mending menunduk saja ke bawah. Tahu-tahu sudah sampai puncak. Risikonya cuman satu: kalau pas ada fotografer fotonya nggak kece. Nunduk sambil ngap-ngapan. Hehehe.
Alhamdulillah saya sampai juga di Km 14. Tujuh kilometer berikutnya merupakan jalur menurun sampai finish. Di sini saya mulai meningkatkan pace. Dengan berlari pada pace nyaman sebelumnya, saya bisa lebih memforsir tenaga. Walaupun engkel dan betis saya mulai memberi sinyal-sinyal mengkhawatirkan.

Alhamdulillah kondisi fisik saya masih bisa diajak kompromi. Bahkan di 2 kilometer terakhir, saya tancap gas. Sprinted all the way. Dengan pace sampai di kepala 5.
Alhamdulillah Finish.. Tapi…
Tapi saat finish, terus terang saya kurang puas dengan catatan waktu saya. Catatan Strava saya, saya menyelesaikan HM ini di 2 jam 22 menit. Memang sih, ini catatan waktu Personal Best saya untuk HM. Lebih baik 1 menit dari catatan sebelumnya di Jakarta HM tahun lalu. Apalagi dengan course yang relatif lebih berat. Tapi dalam hati saya mentargetkan untuk finish di bawah 2 jam 15 menit.


Memang sepanjang lari saya men-set pace monitor saya tidak di average pace, tapi lebih kepada elapsed pace untuk setiap Km. Jadi saya hanya monitor pace saya saat itu. Mungkin saja saya kelewat santai dan nyaman di awal. I could have pushed harder. But that’s perhaps just a competitiveness spirit in me.
Tapi saya tidak menyesal. Tetap saja, ini menjadi lomba paling menyenangkan buat saya. Saya berhasil menyelesaikan jarak HM dengan riang gembira. Tak sekalipun terasa tersiksa. Apakah ini pertanda saya bisa naik tingkat ke jarak Full Marathon? Hahaha.
Tidak secepat itu Ferguso. Tapi yang jelas saya sudah menatap event race saya berikutnya dengan pandangan lebih optimis: Borobudur Marathon di bulan November nanti. Apakah bisa finish di bawah 2 jam 15 menit? Yuk bisa yuk!
Epilogue: Catatan dari Bali Marathon tahun ini
- Setelah tahun lalu saya dan istri saya Elok sangat menikmati MBM, kami langsung mengajak anak kami Rafif untuk ikut serta pada MBM tahun ini. Alhamdulillah, kami bertiga berhasil menyelesaikan lomba. Dan ketiganya berhasil memecahkan PB masing-masing. Elok dan Rafif juga sangat menikmati lomba tahun ini. I’m really proud of them.

- Record jumlah peserta MBM tahun ini memang luar biasa. Namun hal ini membuat penyelenggaraan menghadapi tantangan tersendiri. Dan juga membuat kenyamanan dalam lomba berkurang. Walaupun secara keseluruhan penyelanggaran tetap oke menurut saya, namun tahun depan apabila jumlah peserta semakin meningkat, Panitia perlu memikirkan jalan keluar masalah yang dihadapi tahun ini:
- Perjalanan menuju area Start yang sulit. Traffic was a madness. Jalan Raya Ngurah Rai macet total sepanjang 6-7 km. Berangkat jam 03.30 dari Nusa Dua, saya pasti akan terlambat sampai di Garis Start jam 05.30 (start HM), apabila saya tidak nekad turun, dan naik Ojek. Begitu juga Elok dan Rafif yang menyusul 15 menit kemudian.

- Pusat penyimpanan barang entah kenapa tahun ini mengecewakan. Kami harus menunggu lebih satu jam untuk menunggau panitia mencari-cari tas kami di container. Sepertinya sistem yang sudah dirancang untuk mengumpulkan tas-tas sesuai dengan nomor urut tidak berjalan. Entah kenapa. Yang jelas Panitia tidak bisa menerapkan sistem yang sistematis dalam mencari tas-tas tersebut. Mungkin juga karena peserta yang membludak.
- Race Village terasa terlalu sempit dengan penambahan jumlah peserta. Kalau tahun lalu kita masih bisa duduk-duduk lumayan santai setelah lomba, kali ini susah mendapatkan tempat istirahat. It’s packed. Antrian untuk beberapa spot foto pun terlalu panjang, sehingga kami memutuskan untuk tidak ikutan.

- Dampak dari jumlah peserta MBM ini juga berpengaruh pada phone reception di Race Village. Saya pemakai XL sih masih lumayan, walaupun Padang koneksi internet tidak bisa mengakses Whatsapp. Namun buat istri saya dan pemakai Telkomsel lainnya, it’s really hopeless. Agak disesalkan, karena jadinya jadi tidak bisa kontak-kontakan dengan teman-teman sesama runners yang ikut MBM untuk foto bareng. Semoga masalah-masalah ini bisa diatasi, sehingga MBM tetap dapat menyandang predikat sebagai salah satu event lomba lari terbaik di tanah air (dan mungkin juga di region Asia Tenggara).



2 Comments Add yours