
Di penghujung 80an dan awal dekade 90an, penggemar musik rock di seluruh dunia pasti mengenal dua band ini. Whitesnake dan Scorpions.
Whitesnake baru saja merilis album nya yang fenomenal di tahun 1987. Self-titled album yang melambungkan band David Coverdale ini ke seluruh dunia. Lagu-lagu seperti “Here I Go Again”, “In The Still of The Night” dan “Is This Love” menjadi langganan diputar di radio atau MTV.
Dengan kesuksesan ini David Coverdale mencanangkan ambisinya untuk menguasai pasar Amerika. Punggawa band yang sukses merekam album fenomenal tersebut seperti John Sykes (gitar), Neil Murray (bass) dan Aynsley Dunbar (rums) malah didepak. Digantikan dengan personil yang lebih bernama internasional. Adrian Vandenberg dan Vivian Campbell ditarik sebagai duo gitaris wahid. Rudy Sarzo dan Tommy Aldridge melengkapi formasi di rhythm section. Jadilah sebuah super group Whitesnake.

Di tahun 1990, Whitesnake merilis album “Slip of The Tongue”. Secara musikalitas album ini sangat baik. Teknik gitar Steve Vai (yang menggantikan Campbell), irama groovy bass Rudy Sarzo dan gebukan drum berenergi dari Tommy Aldridge melengkapi lengkingan suara Coverdale yang khas. Lagu remake “Fool for Your Loving” dan semi-ballad “Now It’s Gone” cukup populer di blantika musik rock, walaupun tidak bisa menyamai kesuksesan album sebelumnya.
Beda cerita dengan Scorpions. Grup rock Jerman ini sudah melegenda di tahun 80an. Berkiprah sejak akhir dekade 1960, lagu-lagu mereka sudah akrab di telinga penggemar musik rock. Terutama lagu-lagu ballad-nya. Bagi yang belajar gitar, sepertinya lagu-lagu Scorpions seperti “Still Loving You” ataupun “Always Somewhere” jadi repertoir wajib dipelajari.
Di tahun 1990 status legenda Scorpions semakin melambung. Lagi-lagi karena lagu ballad. Karya terbaru mereka saat itu, “Winds of Change”, menjadi hits di seluruh dunia. Karena lagu yang liriknya menceritakan perubahan di Uni Soviet ini mendapatkan momentum dengan bubarnya negara Uni Soviet. Dan juga runtuhnya tembok Berlin. Klaus Meine seakan-akan menjadi corong perubahan geopolitik dunia.
Singkat kata, di akhir periode keemasan musik rock dan heavy metal di akhir 80an dan awal dekade 1990, nama Whitesnake dan Scorpions adalah nama mentereng. Supergroup dunia. Tidak terbayangkan bagi kita-kita penggemar musik tanah air berharap mereka datang ke Indonesia. Whitesnake sibuk berkeliling Amerika dan Eropa dalam tur dunia mereka. Scorpions malah menjadi headliner untuk konser “Moscow Music Festival-Make A Difference Foundation” di Russia tahun 1989, yang disebut-sebut sebagai festival band terbesar di dunia setelah Live Aid.

Setelah menunggu 30 tahun, baru di tahun 2020 harapan itu terlaksana. Whitesnake dan Scorpions dihadirkan oleh promotor Rajawali untuk menjadi headline Jogjarockarta. Festival rock tahunan yang diselenggarakan di Jogjakarta sejak 2017. Dan tentu saja, saya dan teman-teman saya penggemar musik rock lawas bersukacita menyambut. Secara kami juga pengunjung wajib Jogjarockarta. Tak peduli mereka sudah tua. Atau kita tidak terlalu update dengan karya-karya terbaru mereka. Sejak penjualan presale di bulan November tahun lalu, saya bahkan sudah beli tiketnya.
Dan bukan hanya kita ternyata. Datangnya dua nama band legendaris ini ikut mendongkrak penjualan tiket. Stadion Kridosono Minggu malam kemarin terlihat lebih penuh daripada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan rombongan teman saya yang nonton kalau tadinya hanya maksimal 4 orang, sekarang jadi ber-8. Gabungan teman kantor, kampus sampai sekolah. Jadinya Die hard fans musik rock/metal bercampur dengan penggemar musik mainstream. Mereka yang mungkin lebih banyak akrab dengan lagu-lagu ballad Scorpions ataupun lagu hits Whitesnake seperti “Here I Go Again”. Tapi tak mengapalah, the more the merrier.

Dan kemarin, saya boleh bilang semua pengunjung Jogjarockarta 2020 tidak kecewa. Walaupun sudah menginjak usia 60-70an, para kakek-kakek Ular Putih dan Kalajengking ini masih banyak sisa bisanya.
Whitesnake tampil lebih dulu. Membuka konser dengan lagu “Bad Boys” dari album 1987, mereka langsung menggebrak. Terbantu dengan sound system Jogjarockarta yang semakin membaik dari tahun ke tahun, penampilan atraktif mereka tampilkan. Sayang saya sempat bermasalah dengan penukaran tiket saya karena mendadak HP hilang sinyal data. Jadinya dua lagu pertama “Bad Boys” dan “Slide It In” hanya kita dengarkan dari luar tembok stadion. Sialan.
Duet gitaris Joel Hoekstra dan Reb Beach menunjukkan kelas mereka sebagai musisi kelas dunia. Sejak dulu David Coverdale selalu memiliki duet pemain gitar kelas wahid. Setelah John Sykes (yang sebenarnya juga pemain gitar hebat) disingkirkan, Coverdale memiliki preferensi untuk memiliki dua pemain gitar dengan gaya bermain yang berbeda. Yang satu lebih bluesy, yang satu lebih shredding (pemain cepat).
Penggemar band ini pasti ingat Adrian Vandenberg (bluesy) dan Vivian Campbell (shred) di era setelah 1987. Untuk kemudian Campbell digantikan maha gitaris Steve Vai untuk rekaman dan tur album Slip of The Tongue.
Steve Vai tidak bertahan lama. Tempatnya digantikan Reb Beach, yang sebelumnya dikenal gitaris Winger. Departemen bluesy dipegang oleh Doug Aldrich untuk sekian lama, hingga akhirnya kini Joel Hoekstra menggantikannya. Lengkap dengan Gibson Les Paul-nya.
Bersama Reb Beach, Joel bermain rapi dengan teknik mumpuni. Sound gitar terdengar jernih. Dan tidak salah Coverdale memilihnya. Gaya permainannya mirip Sykes ataupun Aldrich. Riff-riff John Sykes dilibas mulus tanpa hambatan.

Reb Beach tidak mau kalah. Sebagai gitaris pemain cepat dengan teknik tinggi, memainkan komposisi gitar ala Steve Vai terlihat effortless. Tapi highlight permainannya bagi saya justru saat dia memainkan solo ikonik “Here I Go Again” yang dulu dimainkan oleh Adrian Vandenberg. Momen magis buat saya.
Kemudian Tommy Aldridge tampil di spotlight. Drums solo. Ini kakek lebih gila lagi. Di YouTube saya pernah lihat dia saat jadi drummer Ozzy Osbourne di awal 80an. Awal mula masa solo karir Ozzy selepas Black Sabbath. Masih ada mendiang Randy Rhoads. Tommy menggebuk drums dengan powerful. Khasnya memang. Dan gilanya, dia masih punya power yang sama di Kridosono 40 tahun kemudian. Bahkan dalam solo drums nya dia bisa atraksi menggebuk drums dengan tangan kosong. Oalah Mbah.. salut wis.
Kalaupun ada yang berubah, sayangnya memang pada vokal David Coverdale. Dibanding dengan musisi instrumen, memang vokalis paling susah mempertahankan performa musikal seiring digerogotinya usia. Beberapa lagu diturunkan nada dasarnya agar ia bisa meraih nada tinggi. Tapi sisa-sisa lengkingan dan geraman khasnya masih ditampilkan. Walau tentunya jauh dari jaman kejayaan, tapi tidak terlalu mengurangi kenikmatan saya menyaksikan lagu-lagu rock klasik Whitesnake seperti “Slow N Easy”, ataupun “Fool for Your Loving”. Saya pun berjingkrak dan ikut bernyanyi keras. Akhirnya kesampaian lihat supergroup lawas.
Whitesnake menuntaskan penampilannya dengan lagu ikonik mereka “In The Still of The Night”. Betul-betul pertunjukan musik yang bergairah dan berkelas. Bagi saya dan teman-teman rombongan grup “Hair Metal”, Whitesnake lebih pantas menjadi headliner Jogjarockarta daripada Scorpions. Malah beberapa teman mengajak beringsut ke belakang, cari minum ataupun foto di backdrop festival. Melewati beberapa lagu Scorpions dirasa tidak menjadi masalah.

Dan memang itu yang terjadi. Scorpions mengawali setengah pertunjukan mereka dengan lagu-lagu dari album mereka yang relatif baru. Yang terasa asing buat saya dan sebagian besar teman. Karena kami hanya mengikuti si Kalajengking hanya sampai awal 90an. Lepas itu saya tidak pernah mendengarkan album baru mereka, walaupun saya tahu mereka masih cukup produktif mengeluarkan album. Klaus Meine (vokal), Matthias Jabs (gitar) dan Rudolf Schenker (gitar) juga masih aktif menggelar tur di Eropa dan Amerika.
Dan salut juga kepada ketiga orang ini. Mereka masih bisa mengguncang stadion Kridosono. Permainannya juga rapi, apalagi duo Jabs dan Schenker. Legend lah mereka ini. Masih atraktif dan berlari-lari di panggung. Namun lagi-lagi sisi vokal yang keteteran. Klaus Meine yang barusan operasi ginjal di Australia terlihat kurang bisa menyanyikan nafas panjang. Tapi masih acceptable lah. Dibandingkan misalnya dengan Vince Neil dari Motley Crue, atau David Lee Roth dari Van Halen yang penampilannya kalau kita tonton di YouTube bikin sakit telinga.
Memang lagu ballad mereka “Send Me An Angel” yang membawa penonton musik rock lawas seperti saya kembali merapat mendekat ke panggung. Ingin ikut kegiatan karaoke bersama. Secara lagu-lagu ini akrab di kuping dan syairnya masih lekat di memory. Apalagi saat Klaus Meine bersiul di intro “Winds of Change”. Smartphones bermunculan. Penonton kompak merekam aksi karaoke berjamaah ribuan pengunjung Kridosono. Asyik.
Tapi puncak penampilan mereka justru pada lagu terakhir: “Rock You Like a Hurricane”. Lagu yang selalu menjadi penutup konser Scorpions ini sanggup memaksa kita, para fans musik rock lawas yang sudah cukup berusia, untuk berjingkrak dan bernyanyi. Padahal sudah lepas jam 12 malam. Padahal saya harus mengejar pesawat dalam beberapa jam karena harus masuk kantor.
Tapi usia dan jadwal rapat di hari Senin tidak menyurutkan semangat muda para metal heads. Ternyata sisa bisa bukan hanya milik Whitesnake dan Scorpions. Kami pun masih bisa dan berbisa.
Long live Rock N Roll!
