Pesan Perdamaian dari Jogjarockarta bersama Megadeth

Untuk dua tahun berturut-turut saya datang ke Jogja untuk menyaksikan festival rock tahunan, Jogjarockarta.

Kalau tahun lalu bank progressive metal Dream Theater yang meng-headline festival ini, tahun ini giliran Megadeth, arguably salah satu band heavy metal terbesar setelah Metallica.

Festival band tahunan di Jogja ini mengusung tema “No Place for Hate”, yang terasa pas di tengah memanasnya suhu politik di tanah air menjelang Pilpres 2019. Kalau rockers saja yang cenderung dipersepsikan “gahar” mengajak damai, masa kelompok berbau keagamaan enggan untuk tidak saling membenci?

Anyway, kembali ke laptop.

Festival kembali menghadirkan God Bless, grup rock lawas legendaris. Tahun lalu mereka juga tampil. Selain itu, melengkapi line-up adalah Indra Lesmana Project (ILP), Seringai, Edane, Koil dan beberapa band rock lain.

Saya, Nungki dan Godot berjalan menuju venue, Stadion Kridosono

Saya dan dua orang teman sekolah yang dari dulu menggemari jenis musik ini, masuk ke dalam arena seusai shalat maghrib.

Saat kita masuk, band trash metal Seringai mulai beraksi. Band ini memang tidak populer di arus mainstream. Tapi di kalangan penikmat musik metal, mereka sangat di respek. Karena dedikasi dan konsistensi mereka memainkan genre musik keras ini.

Jadi tidak heran saat Seringai tampil, ratusan fans beratnya ber headbanging, moshing di depan panggung. Seru!

Setelah jeda Isya sebentar, giliran ILP yang naik panggung.

Saya tahu band ini dari YouTube. Indra Lesmana, musisi jazz kenamaan yang membuat audisi mengumpulkan musisi berbakat secara online, dan menyatukan mereka untuk membentuk band progressive metal. Saya pernah lihat salah satu klip-nya, yaah alirannya mirip-mirip dengan Dream Theater gitu deh.

Menyaksikan Indra Lesmana beraksi di big screen

Tapi entah kenapa saat mereka tampil, saya tidak mendapatkan impresi yang melekat dari grup ini.

Ya memang musisinya terampil, dan aransemen cukup kompleks. Tapi lagu yang dibawakan terasa kurang kuat melody-nya, sehingga kurang bisa masuk kalbu. Tambahan lagi sound yang keluar tidak seimbang, sehingga kadang suara keyboard Indra yang terlalu dominan, dan suara vokal serta instrumen terasa kurang bulat dan jelas.

Tapi yang jelas penampilan ILP justru membuat saya semakin menghargai Dream Theater, terutama album Images & Words mereka yang monumental. Melody yang sangat kuat tertancap di sela-sela demonstrasi kemampuan teknis bermusik ala band progressive. Saat mereka tampil tahun lalu di festival ini, saya tak henti geleng-geleng kepala. Main musik sekompleks itu kok terlihat simpel dan asyik. ILP memang bermain dengan asyik, tapi aransemen musik mereka belum asyik masuk ke kuping. Anyway, good start, dan cukup menarik untuk melihat kiprah band ini ke depan.

Setelah ILP membawakan sekitar 5-6 lagu, menurut jadwal, giliran band gaek God Bless yang manggung. Band pemungkas sebelum atraksi utama: Megadeth.

Nah karena sudah mendekati jadwal Megadeth manggung, kita beranjak ke tengah lapangan. Lebih mendekat ke main stage.

Masalah di lapangan Kridosono adalah debu. Karena lapangan banyak yang sudah tidak berumput, debu berterbangan di lokasi kerumunan penonton.

Untungnya Nungki sigap membaca situasi. Sebelum masuk ke dalam stadion, dia beli dulu masker. Keputusan yang tepat! Kita bisa lebih terhindar dari debu yang tidak sehat! Apalagi kemudian kita menemukan tempat di tengah lapangan yang semulanya adalah lokasi kamera, tapi tidak terpakai. Karena berpagar, jadi kita bisa leluasa menonton tanpa berdesakan. Sip!

Tiga rocker gaek bermasker ☺️
Posisi kita menonton Megadeth. Di tengah-tengah, dan terlindungi pagar kamera. Lumayan!

Sesaat kemudian God Bless naik panggung. Seperti tahun lalu, formasi lawas Achmad Albar, Ian Antono, Donny Fatah didampingi oleh Abadi Soesman pada keyboard dan Fajar Satriatama pada drums.

Lagu pertama yang dibawakan adalah “Musisi”. Lagu yang kompleks, bertempo lumayan cepat yang menuntut presisi nada dan instrumen.

Terus terang tapi saya kecewa dengan penampilan God Bless kali ini. I think finally the age caught up with them. Well, maybe this has been going on for few years. Tapi seingat saya, penampilan God Bless tahun lalu tidak seburuk ini.

Achmad Albar, seperti halnya vokalis rock yang sudah termakan usia, sudah sulit menjangkau nada tinggi, dan mengambil nafas di lagu-lagu dengan tempo cepat, seperti “Musisi”, atau “Kehidupan”. Untuk lagu-lagu slow seperti “Rumah Kita” dan “Panggung Sandiwara”, vokal Iyek masih oke lah.

Ian Antono pun saya rasa tidak dalam permainan terbaiknya semalam. Banyak nada yang luput dalam solo melody-nya yang biasanya demikian presisi.

Yang cukup menghibur adalah dimainkannya lagu “Menjilat Matahari” oleh Ian Antono, yang notabene merupakan lagu God Bless bersama Eet Sjahranie. Tahun lalu tidak ada satu pun lagu dari album “Raksasa” yang muncul.

Tapi saat saya mengirimkan klip video ke kakak saya, Mas Oyi, yang dulu mahir memainkan lagu ini, dia mencemooh. Katanya permainan keyboard Abadi Soesman jauh dari Jockie Surjoprajogo. Another listen to the clip, saya rasa Mas Oyi benar. Hehehe.

Yah akhirnya untuk nostalgia, saya rasa boleh lah kita menyaksikan legenda rock Indonesia ini tampil. Tapi tak usah berharap banyak. Yang ada cenderung kita kasihan melihat mereka terengah-engah berusaha mengejar semangat muda yang sudah kadaluarsa.

And now, it’s time for Megadeth.

Sebelum Megadeth tampil, panitia mengajak penonton untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sesaat Lapangan Kridosono seperti lapangan upacara bendera 🤣.

Setelah itu tampil kejutan.

Bapak Presiden Republik Indonesia, Jokowi, tiba-tiba tampil di layar besar. Diundang oleh Megadeth melalui akun twitter resmi mereka, Jokowi sayangnya tak bisa hadir. Tapi beliau merekam pesan singkat kepada penonton.

Sebagai metal head, Jokowi di dalam videonya mengaku menyukai Megadeth. Dia sebutkan tiga lagu favoritnya yakni Ashes in Your Mouth, Sweating Bullets dan Wake Up Dead. Dua lagu terakhir ternyata dinyanyikan oleh Megadeth di konsernya semalam.

Seperti halnya saat kita menyaksikan Megadeth di Hammersonic festival di Jakarta tahun lalu, Dave Mustaine dan kawan-kawan memainkan set list lagu yang bervariasi. Tapi kebanyakan dari album-album terkenal mereka seperti album Peace Sells but whose Buying, Rust in Peace, Countdown to Extinction, Youthanasia, Cryptic Writings, dan tentu saja album terakhir mereka, Dystopia, yang akhirnua sukses merebut Grammy.

Permainan musik mereka rapi dan eskplosif. Vokal Dave Mustaine masih terjaga, walaupun memang notabene lagu Megadeth tidak membutuhkan lolongan nada tinggi seperti album metal lain. Tapi hal itu yang membantu sehingga saat rocker gaek lain sulit meraih nada tinggi, Dave Mustaine masih leluasa menggeram dan bersumpah serapah lewat lagunya.

Akhirnya konser ditutup dengan salah satu lagu favorit saya dari repertoire Megadeh: Holy Wars. Walaupun lagu ini diciptakan di tahun 1988, liriknya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini:

“Brother will kill brother / spread the blood across the land / killing for religion / something I don’t understand”

Ya, damai. Megadeth pun seakan mengajak bangsa Indonesia untuk tidak dipecah belah oleh agama lewat lagu ini, terutama dalam kontestasi politik yang cenderung menghalalkan segala cara. Saya pun ikut bernyanyi keras-keras. Saya setuju 100 persen, Dave! You rock! 🤟🏻

Itu artinya “Terima Kasih” – salute kepada penonton dari personil Megadeth di pengujung konser
Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s