
Luar biasa, di saat Inggris tidak bisa berpartisipasi pada Euro 2008, justru final liga Champions menghadirkan dua tim papan atas Liga Inggris.
Banyak yang berkomentar justru di situ permasalahannya. Klub Liga Inggris semakin kuat karena dorongan kapital. Tapi ini berimbas balik pada kurangnya tempat kepada talenta talenta pemain Inggris di tim-tim tersebut, karena tim lebih mengutamakan prinsip ekonomi dalam pemilihan pemain. Ya, pragmatis saja, kalau Arsenal bisa mendapatkan sebangsa Adebayor dengan harga murah dari Afrika, kenapa harus memupuk talenta Britania Raya yang terkenal lebih mahal dan kadang banyak maunya? Belum tentu juga produktif bikin gol.
Arsenal memang yang paling dikritisi dalam hal ini. Kalau kita menilik starting eleven, praktis tidak ada pemain Inggris yang berada di dalamnya. Theo Walcott, yang sebelumnya disebut-sebut sebagai “The Hottest English Prodigy” masih belum bisa menyakinkan Arsene Wenger untuk menjadi pemain
reguler. Tempat di lini depan justru menjadi tempat bagi pemain muda Kroasia, Eduardo (sebelum cedera) dan Adebayor. Lini tengah dan belakang di-supply talenta talenta dari Afrika dan negara Eropa daratan.
Liverpool, salah satu tim langganan liga Champion, juga hanya memiliki Gerrard dan Carragher sebagai pemain inti. Crouch dan Jermaine Pennant masih kerap menjadi pemain pengganti. Sejak jaman Gerrard dan Michael Owen, berapa orang pemain akademi Liverpool yang berhasil menerobos persaingan? Nol.
Untunglah pihak sepakbola di Inggris sudah mulai mengeluarkan wacana klasik: pembatasan pemain asing di klub. Hal mana yang ditentang habis-habisan oleh Arsene Wenger. Berpegang pada prinsip free trade dan hakasasi manusia, Wenger berkata, “Apakah Anda akan menghalangi seorang calon pemain hebat dari Afrika untuk mendapatkan penghidupan lebih baik, hanya karena dia pemegang paspor non Inggris? Apakah itu adil?”. Suatu pertanyaan yang menarik, dan tentunya memancing pro dan kontra.
Namun terlepas dari apa hasil dari pembatasan kuota ini, suatu fenomena yang menarik justru kita lihat dari tim finalis Liga Champions tahun ini. Kedua tim ini justru berpilarkan pemain pemain asli Inggris. Manchester United memiliki Wayne Rooney di depan, Paul Scholes, Owen Hargreaves,
Michael Carrick di tengah, dan Rio Ferdinand, Wes Brown dan Gary Neville di belakang. Chelsea juga demikian, terhitung mulai John Terry dan Ashley Cole di belakang, Frank Lampard, Joe Cole dan terkadang Shaun Wright Phillips mengisi lini tengah. Lini depan Chelsea saja memang yang tidak memiliki sumbangan pemain Inggris. Tapi ini sudah mendekati 50 persen porsi outfield player dalam satu tim.
Hanya saja kalau kita melihat lebih ke dalam, hanya Paul Scholes dan John Terry yang merupakan binaan timnya saat ini. Lainnya adalah pemain-pemain Inggris yang dibeli saat nama mereka sudah mulai berkibar. Wayne Rooney dan Frank Lampard dibeli dari Everton dan West Ham. Rio Ferdinand juga merupakaan binaan Leeds United. Shaun Wright Phillips dibajak dari Manchester City. Jadi lagi-lagi kekuatan kapital lah yang membuat kedua tim ini berhasil mengumpulkan talenta-talenta terbaik Inggris.
Kesimpulannya, tanpa adanya regulasi proteksi pemain-pemain muda Inggris, dalam iklim sepakbola yang sudah menjadi ladang bisnis yang menggiurkan ini, akan sulit bagi tim nasional Inggris untuk dapat berprestasi lebih tinggi dan konsisten dalam jangka panjang.
*dalam perjalanan ke cilacap, 1 mei 2008*