
Semalam, rakyat Indonesia bersuka ria. Seakan-akan Indonesia baru saja menjadi Juara Dunia. Lini masa Twitter, Facebook ataupun Path dipenuhi dengan ekspresi gembira, tidak percaya dan puja puji terhadap kemenangan Timnas U-19 Indonesia. Beban naiknya harga-harga, kemacetan di Jakarta dan korupsi yang makin merajalela terlupakan. Bangsa ini sedang gembira.
Padahal tidak ada piala yang kita raih. Bahkan sejatinya kemenangan Timnas U-19 atas Korea Selatan semalam “hanya” mengantarkan kita lolos ke Piala Asia U-19 di Myanmar tahun depan. Kalaupun kita mau sebut tim kita “tim juara”, titel juara yang kita sandang “hanyalah” titel juara grup penyisihan Piala Asia.
Tapi tetap saja kemenangan semalam tetap terasa istimewa.
Seumur hidup saya, belum pernah saya melihat timnas menang melawan Korea Selatan.
Seumur hidup saya, belum pernah saya melihat timnas kita bermain sedemikian apiknya.
Seumur hidup saya, belum pernah saya merasa kita menjadi “juara dunia”
Dan itulah yang terjadi. Evan Dimas dan kawan-kawan bukan saja menghadirkan kebanggan dengan prestasi mereka, tapi mereka juga menghibur jutaan rakyat Indonesia dengan permainan bola yang memikat. Permainan bola ala Eropa daratan yang terasa asing dalam ranah sepakbola tanah air: possession football yang penuh percaya diri, olah bola dengan teknik individu yang mumpuni, dan pola permainan yang tertata dengan baik mengandalkan visi gelandang tengah dan tusukan dari pemain sayap.

Saya baca di salah satu situs berita nasional, Timnas U19 ini rata-rata melepaskan umpan 600 kali dalam satu pertandingan. Statistik ini mendekati rata-rata yang dimiliki klub papan atas Eropa seperti Barcelona yang rata-rata 700 kali melepas umpan. Berbeda jauh dengan rata-rata Timnas senior yang rata-rata hanya 300 kali per pertandingan. Ini betul-betul merupakan revolusi sepakbola di Indonesia!
Mungkin orang yang paling bertanggung jawab terhadap revolusi tersebut adalah Indra Sjafri, pelatih Timnas U19. Menilik rekam jejak sang pelatih, saya bersyukur mengetahui bahwa kemenangan semalam bukanlah kebetulan belaka. Indra Sjafri sebelumnya sudah membawa tim asuhannya ini menjuarai turnamen sepakbola level asia di Hong Kong, HKFA U-17 DAN HKFA U-19 dua tahun berturut-turut. Lalu, sebelum kemenangan bersejarah semalam, masih segar dalam ingatan kita juga beberapa minggu lalu Timnas U19 menjuarai Piala AFF U-19 dengan mengalahkan Vietnam di partai puncak. Tim ini adalah tim yang memiliki DNA juara.

Dalam membentuk tim juara ini, hebatnya Indra Sjafri tidak membutuhkan aksi instan naturalisasi, seperti mana getol dilakukan pimpinan PSSI akhir-akhir ini. Indra percaya bakat-bakat alam pemain sepakbola terbaik kita tersebar di seluruh pelosok nusantara. Pelatih asal Lubuk Nyiur Sumatera Barat ini berkeliling mencari bakat sampai ke 34 lokasi. Dari Jawa, Aceh sampai Nusa Tenggara.
Salah satu pemain hasil “blusukan” Indra adalah Yabes Roni Malaifani, pemain dari Alor, Nusa Tenggara Timur. Tidak bergabung dengan klub sepakbola l manapun, Yabes dilirik oleh Indra saat ia mencari bakat ke pelosok NTT. Skill individu dan kecepatan pemain yang sudah menjadi anak yatim sejak umur dua tahun ini berhasil menarik perhatian coach Indra. Diboyonglah Yabes ke Jakarta. Selain Yabes sebetulnya ada dua orang lagi dari NTT yang sempat masuk ke dalam Timnas. Namun hanya Yabes yang bertahan dalam seleksi, bahkan menjadi pahlawan saat mencetak gol kedua ke gawang Filipina di partai sebelumnya. Di luar Yabes, masih ada lagi nama-nama yang direkrut Indra dari daerah, seperti Zulfiandi dari Bireuen, Aceh, Paulo Oktavianus dari Jember, ataupun Muchlis Hadi dari Pasuruan. Mereka melengkapi materi skills tim juara yang berisikan Evan Dimas dengan visi permainan dan umpannya yang berkelas, tusukan sayap Maldini Pali dan Ilham Udin Armayn ataupun tendangan geledek Hargianto.

Selain bakat skills yang baik, Indra Sjafri menetapkan empat kriteria dalam memilih pemainnya: skill, taktik, fisik dan mental. Khusus untuk mental juara, hal yang kita lihat berhasil ditanamkan oleh Indra. Dalam pertandingan semalam, pemain Indonesia tak terlihat sedikit pun inferior di depan pemain-pemain Korea Selatan, yang notabene adalah Juara bertahan, penguasa sepakbola Asia, dan calon-calon pengganti pemain top dunia seperti Park Ji Sung ataupun Son Heung Min yang berkiprah di liga papan atas Eropa. Indra menceritakan dalam pertandingan pertama melawan Laos, walau timnya sudah unggul 2-0 di babak pertama, Indra tidak puas dengan kinerja timnya. Di masa istirahat Indra menghardik seluruh pemain, “Kalian tampaknya sudah puas hanya jadi juara Piala AFF!”. Hasilnya, Evan Dimas dan kawan-kawan bermain lebih baik di Babak kedua, dan mengungguli Laos 4-0. Yang kemudian berlanjut sampai kemenangan bersejarah semalam.

Semoga momentum positif ini akan terus berlanjut. Semoga pelatih Indra Sjafri tetap diberi kepercayaan untuk membina materi istimewa timnas U19 ini untuk selanjutnya menjadi tulang punggung timnas sepakbola Indonesia. Semoga tidak terkena imbas pengaruh-pengaruh negatif yang selama ini menghantui sepakbola Indonesia, seperti yang saya tulis dalam status Facebook saya semalam:
“Jangan diundang Politisi kampungan, jangan jadi bintang So Nice, jangan dipacarin artis, jangan dirusak oknum PSSI yang mau jadi pahlawan kesiangan.”
Akhirnya marilah kita percaya, tadi malam bukan lah aksi kebetulan. Tadi malam adalah momentum kebangkitan sepakbola Indonesia. Tadi malam adalah langkah awal Indonesia menjadi Macan Asia! Dan siapa tahu, beberapa tahun kemudian, kita akan menyaksikan kiprah Timnas di Piala Dunia? Kita bisa! Insya Allah, Amin.