
Pemilihan Umum Presiden 2009 baru saja berlalu. Terlepas dari berbagai macam drama, seperti kekisruhan DPT, atau pisah-pilih calon presiden dan wapres, tetap saja Pilpres 2009 berakhir dengan hasil yang banyak diramalkan semua pihak: SBY, the incumbent, memenangkan Pilpres 2009 dalam satu putaran. Memang ini masih berdasarkan quick count, tapi menilik dari pengalaman pada pileg atau pilpres sebelumnya, biasanya hasil penghitungan akhir versi KPU tidak akan berbeda jauh.
Begitu banyak hal menarik yang bisa dikemukakan dari “pesta demokrasi” setiap 5 tahun ini. Berikut beberapa hal yang menarik perhatian saya:
- Masih dominannya preferensi pemilih Indonesia pada sosok “figur” teladan. Di tengah-tengah maraknya kampanye Pilpres 2009, saya sempat mengkritisi strategi kampanye SBY yang terlihat “basi” dan “normatif”. Iklan kampanye yang hanya menampilkan sosok SBY sebagai seorang manusia yang “baik, jujur dan memiliki keluarga yang harmonis” saya rasa akan tertinggal dengan kampanya dua capres lain yang terlihat lebih progresif dan lebih berorientasi program. Ambil saja contoh, program JK-Win yang menelurkan program “Pinjaman untuk Pemuda 3-20 juta”, yang saya rasa konkrit dan menarik (kendati implementasinya bagaimana, saya meragukan). Tapi kenyataannya, JK-Win dalam Pilpres 2009 ini hanya mandapat nomor buncit.Sebetulnya, yang sebetulnya telah dipahami oleh tim sukses SBY adalah masih dominannya preferensi pemilih untuk memilih presidennya berdasarkan persepsi akan figur presiden tersebut. Sahabat saya, yang kebetulan punya root dari desa, mengatakan kepada saya saat saya mengkritisi iklan SBY di atas. Dia mengatakan, “Ben, kalau orang desa itu memang kalau milih pemimpin, pasti milih orang karena ‘ ketoke iki wong apik, jujur’, bukan program-programnya”. Terbukti mungkin hal tersebut benar.
- Pemilih lebih tidak perduli pada Calon Legislatif daripada Calon Presiden. Pada saat Pemilu Legislatif hampir tiga bulan lalu, banyak “politisi amatiran luar kandang” mendengung-dengungkan kemenangan “Golput”. Dengan persentase pemilih yang “tidak memilih” alias “Golput” lebih besar dari pemilih Partai Demokrat, sang pemenang Pileg, mereka berkoar-koar bahwa pesta demokrasi ini tidak valid, karena yang menang toh yang tidak memilih. (note: padahal kalau sejumlah orang Golput ini kita minta untuk membuat partai mereka sendiri yang sesuai dengan keinginan mereka, saya berani bertaruh pasti suaranya akan pecah, dan tidak akan mendapatkan suara lebih banyak dari Partai Demokrat. Masuk ke Senayan saja belum tentu.. hehehe…)Ternyata hal tersebut tidak terjadi di Pilpres. Dari hasil quick count sementara, jumlah pemilih Golput berkurang signifikan. Entah karena hasil sosialisasi yang lebih gencar, atau perbaikan dalam DPT, tapi yang jelas yang saya pantau dari situs-situs jejaring sosial seperti Facebook, Kaskus ataupun mailing list, pemilih lebih antusias membicarakan Pilpres, dan cenderung lebih passionate dalam membela atau menjelek-jelekkan capresnya.Ya iya lah, dengan serangkaian berita miring mengenai anggota dewan yang selalu saja muncul, saat ini tampaknya masyarakat Indonesia lebih bersimpati kepada eksekutif daripada pada legislatif. Berbeda kontras dengan jaman tahun orde baru.
- Kalau jadi Capres jangan banyak mengkritik. Ternyata masyarakat Indonesia masih tercermin dengan budaya tradisionalnya, yakni budaya “ewuh pekewuh”. Masyarakat kita kerap enggan mengkritik orang lain secara frontal, dan kecenderungannya mereka akan memilih capres yang sesuai dengan nilai-nilai dan budaya mereka.Kemenangan telak SBY, dan kekalahan telak JK tampaknya menjadi gambaran yang paling pas dari fenomena ini. JK yang dalam debat pilpres di televisi, tampak impresif, tampaknya kurang populer di mata masyarakat awam karena kecenderungannya mengkritisi SBY dan pemerintahan sebelumnya, kendati beliau sendiri adalah bagian dari pemerintahan tersebut. Sementara itu sikap SBY yang tetap “berpolitik santun” dalam tutur kata dan pernyataannya, justru memperkuat sosok figur “baik” sang incumbent, yang akhirnya berujung pada kemenangan.Satu catatan lagi, apabila budaya “ewuh pekewuh” ini tetap kuat dipegang masyarakat, jangan harap debat capres kita akan menjadi tontonan semenarik Obama vs Mc Cain. Minimal yang bisa kita lakukan adalah mengajukan pertanyaan mengenai isu-isu yang jelas-jelas kontradiktif antara satu capres dengan capres lainnya. Apabila isu masih dalam area abu-abu, dipastikan ucapan sang ibu capres, “Saya sih karena semuanya setuju, ya saya setuju saja” akan semakin sering ditemui.
- Pasar modal Indonesia masih susah diprediksi. Sejak satu minggu sebelum Pilpres 2009 dimulai, sejumlah analis sudah menyuarakan bahwa kalau Pemilu berlangsung satu putaran, dan SBY menang lagi, maka euphoria pasar modal akan terjadi, persis seperti saat Demokrat memenangkan Pemilu Legislatif. Indeks diprediksi akan terbang ke level 2.200 dari 2.083.Kenyataannya, indeks adem ayem. Hanya sempat melonjak di sesi awal perdagangan, indeks terkoreksi lagi. Kebanyakan saham-saham blue chips bertumbangkan. Telkom (TLKM), Aneka Tambang (ANTM), Perusahaan Gas Negara (PGAS) semua terkoreksi. Justru saham-saham perbankan yang terlihat menguat, dipelopori oleh Bank BRI (BBRI) yang menguat hampir 7% dalam sehari ke tingkat 7.100. Bank BNI (BBNI) juga menguat 20 point ke angka 1.770.Memang hal ini dipengaruhi oleh harga minyak yang turun banyak, yang menyebabkan hampir semua harga saham perusahaan tambang dan energi menurun (huaaaaa). Tapi lagi-lagi ini merupakan anti-thesa dari bursa efek Indonesia, yang biasanya lebih terpengaruh oleh sentimen lokal seperti kondisi politik dalam negeri.