Sangar itu artinya bukan serem, tapi dalam bahasa Jawa Timuran artinya apik, bagus.
Asli, ini film memang bagus. Di kala teman-teman yang lain terharu biru dengan Dilan yang puitis, Elok justru mengajak nonton film Yo Wis Ben ini. Istriku dengar dari temannya katanya lucu. Dan mungkin juga ketertarikannya karena darahnya yang asli Malang, Jawa Timur, tempat lokasi film ini dibuat.
Ya, memang sebagaimana video Bayu Skak di kanal YouTube, film ini juga menggunakan bahasa Jawa. Tepatnya bahasa Jawa Timuran yang medhok. Walau berisiko mengurangi potensi penonton, tapi justru di sini kekuatannya. Sutradara Fajar Nugros dan Bayu Skak berhasil membangun dialog, candaan dan pisuhan (celaan) yang pasti dekat di hati kita yang suku Jawa atau paling tidak tinggal di Jawa.
Ceritanya tidak istimewa, namun dengan penceritaan kisah yang semi flashback, menjadikan film ini dari awal menarik rasa ingin tahu. Kisah yang dilandasi oleh fenomena social media juga membuat film ini memotret realita di mana “clicks” dan “views” menjadi mata uang dunia maya. Tak lupa disisipkan pesan moral bahwa kegelimangan popularitas di dunia maya berbeda dengan realita dunia nyata. Juga mengusung semangat pluralisme di tengah-tengah sentimen keagamaan yang sempit.
Sebagai seorang YouTuber yang cukup populer di Indonesia, dengan hampir tembusnya 500,000 penonton (pada saat tulisan ini ditulis), Bayu Skak sukses membawa dunianya ke realita nyata. Karakter yang ditampilkan kuat (my favorite is pemukul beduk masjid/ drummer), dialog komedi tanpa slapstick yang mengundang tawa, dan soundtrack lagu yang while not my cup of tea, is worthy of a listen.
Akhirnya saya berkesimpulan sebuah film yang berhasil dan menghibur. Sangar, sangar.