
Mungkin banyak yang tidak tahu, film Gundala arahan Joko Anwar ini bukan lah film layar lebar Gundala yang pertama di Indonesia.
Di medio 80-an, Gundala sudah sempat hadir di layar bioskop. Saya tahu persis, lha saya dulu nonton. Nonton di Semarang, di bioskop Pasar Johar. Bersama kakak saya, Mas Oyi, yang sama-sama penggemar komik Gundala karangan Hasmi.
Seingat saya nama pemerannya Teddy Purba. Sebagai Gundala, ia tampil dengan kostum yang mirip dengan di komik karangan Hasmi. Saat tampil di adegan pertama, hampir seluruh bioskop bertepuk tangan. Maklum, yang nonton anak singkong. Senang melihat jagoan komiknya tampil hidup di layar bioskop.
Filmnya sendiri sih tergolong culun yah. Special effect-nya pas-pasan. Ceritanya biasa aja. Jagoan kalah dulu, terus terakhirnya menang. Tapi saya dan kakak saya pun tetap senang.
Kami berdua memang penggemar komik-komik lawas Indonesia. Akrab dengan jagoan-jagoan seperti Gundala, Godam, Pangeran Melar, Laba-laba Merah (yes, palsuan Spider Man). Bahkan kita sering asyik membuat comic strip jagoan-jagoan tersebut.

Dalam membuat komik ini, saya dan Mas Oyi cukup terampil dalam menggambar karakter sang jagoan. Ciri khas Gundala dengan kuping bulunya, Godam dengan rompi besinya, atau rambut gondrong Pangeran Melar, jelas terlihat dalam karakter yang kami gambar.
Yang jadi masalah bagi kami berdua adalah: cerita.
Membuat cerita yang menarik lebih sulit daripada menggambar sang karakter.
Salah satu candaan kami dulu adalah apabila mentok memikirkan cerita, kami tinggal menambahkan satu kotak scene “Tiba tiba”. Hal itu untuk langsung membuat jagoan terlibat dalam perkelahian. Apapun adegan sebelumnya, dengan narasi “tiba tiba”, musuh akan datang. Dan langsung cut-to-the-chase: adegan berantem, dan jagoan kita menang. Rush at the end. Komik selesai.
Nah terus terang menyaksikan film Gundala yang sedang heits ini, kesimpulan saya hampir mirip dengan komik yang saya buat dahulu.
Great character. Great visualization. Story? Not so much.
Perlu diakui Joko Anwar berhasil mendobrak stereotype film Indonesia. Yang selama ini filmnya bertema itu-itu saja. Genre jagoan modern ala Marvel dan DC tak pernah tersentuh.
Di film ini, sosok Gundala berhasil dihadirkan dengan keren. Visualisasinya memang berbeda jauh dengan karakter di komik rekaan Hasmi. Gundala dihadirkan berjaket kulit. Memakai kacamata las. Bersepatu safety boot. Lebih dekat dengan realita Sancaka sebagai karyawan pabrik. Mirip dengan cara yang dipilih oleh Marvel saat memperkenalkan sosok Spider Man di film pertama. Peter Parker muncul sebagai Spider Man berbaju sederhana jahitan bibinya. Tidak langsung berkostum spandex mengkilat.

Visualisasi dunia Jakarta dan Indonesia pun diberi bumbu fantasi. Skema warna yang cenderung gelap dan dramatis. Props furnitur dan busana para tokoh yang agak jauh dari realita Jakarta masa kini. Awalnya saya agak susah menerima penggambaran ini. “Jakarta kok kayak begini?”, gumam saya.
Sampai akhirnya saya sadar kalau ini adalah film fiksi. Ya iya lah, Jakarta beneran mana ada super hero? Hehehe. Barulah kemudian dengan penyadaran ini, saya bisa lebih mengapresiasi gaya Joko Anwar di film ini. Sinematografi ala komik. Gelap, cenderung duotone dan dramatis. Lebih ke arah DC daripada Marvel. Atau malah ke “Pemuja Setan”, film sukses Joko yang lain.
Bertutur visual adegan fiksi tentu tidak lengkap tanpa kekuatan special effect. Untuk hal ini, film ini lumayan lah. Aksi petir Gundala cukup menyakinkan, walau bagi saya kurang sering ditampilkan. Semoga di film selanjutnya Sancaka lebih menunjukkan dirinya sebagai “Gundala Putera Petir”.
Koreografi perkelahian juga keren. Aksi silat khas Indonesia ditampilkan secara modern dan menyakinkan. Aksi kolosal terlihat keras dan gahar. Sampai kita merindukan sosok Iko Uwais kok tidak ikut tampil ☺️

Keberhasilan rekaan karakter dan dunianya ini dilengkapi dengan pemilihan casting. Pemilihan Abimana sebagai Gundala terasa pas. Reluctant hero yang terlihat galau dan bimbang. Tara Baso sebagai Wulan (atau nantinya Merpati). Cantik, gesit dan penuh misteri. Begitu pula casting Sancaka cilik (Muzakki Ramdhan). Menggambarkan anak kecil yang memiliki kekuatan tekad dibalik sosok chubby-nya yang menggemaskan.
Tapi saya paling terkesan dengan casting Awang masa kecil. Awang, yang nantinya akan menjadi Godam, mitra jagoan Gundala di universe komik Indonesia. Awang kecil diperankan oleh aktor remaja Faris Fadjar Munggaran. Kharisma jagoannya sudah terlihat kuat. Sosok yang cuek tapi baik. Kurus tapi sangar. Scene pertemuan dan interaksi antara Sancaka dan Awang menjadi salah satu scene paling berkesan di film ini. Skenarionya kuat, sinematografinya memikat (latihan silat di gerbong kereta), dan kedua pemain cilik ini benar-benar mencuri perhatian. Salut.
Akhirnya sampailah ke jalan cerita. Yang menurut saya kelemahan utama film ini. Cerita cenderung biasa saja. Klasik. Gampang ditebak. Pesan dari film bahwa “negeri ini butuh patriot”, dan “buat apa hidup kalau tidak perduli dengan orang lain”, walaupun bagus dan tepat, juga tidak bisa dibilang istimewa.
Apalagi pace jalan cerita. Tidak konsisten. Di awal film, pace begitu lambat. Seakan ingin memastikan pemirsa untuk mengenali sosok Sancaka lebih dalam. Jadinya menurut istri saya membosankan dan membuatnya mengantuk.
Tapi menjelang akhir film, pace berjalan sangat cepat. Bahkan cenderung seperti dipaksakan untuk selesai dalam waktu singkat. Pengenalan barisan jagoan musuh, tewasnya musuh utama sampai penyelesaian krisis yang melanda Jakarta selesai dalam hitungan menit. Logis penyelesaian masalahnya pun menjadi pertanyaan. Dan kemudian “tiba tiba” muncul jagoan baru yang menolong Gundala di saat akhir?
Mengingatkan saya pada komik saya dulu. Skenario “tiba tiba”. Rush to the end.
Ya memang di sinilah PR siapa pun yang menangani cakrawala Bumi Langit selanjutnya. Memperkuat cerita. Memperkaya plot. Agar kekuatan visual yang sudah naik tingkat diimbangi dengan kekuatan cerita. Agar jagoan lawas nusantara yang berhasil bangkit, tidak kembali terkubur karena lemahnya cerita.
Bagaimanapun, salut untuk Bumi Langit. Salut untuk Joko Anwar. Sudah berhasil membangkitkan jagoan lawas saya. Membangkitkan ketertarikan generasi muda, bahwa cakrawala pop culture Indonesia memiliki tempat untuk Sancaka dan Awang, tidak hanya Tony Stark ataupun Bruce Wayne.
Ditunggu kelanjutannya dengan penuh harap.
Rating: 7/10
