
Dua puluh satu tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1998, saya dikirim perusahaan saya saat itu, Arthur Andersen untuk mengikuti pelatihan di Chicago, Amerika Serikat.
Sebetulnya training centre nya di St. Charles, kota kecil 45 menit bermobil dari Chicago.
Nah kebetulan saat itu film prequel trilogy kegemaran saya, Star Wars baru mulai diputar di Amerika Serikat. Film tersebut, Episode I: Phantom Menace adalah film Star Wars pertama sejak Return of Jedi di tahun 1983. Ya, setelah 15 tahun jeda. Menceritakan mengenai asal muasal Skywalker saga, bloodline karakter utama di film science-fiction ini.
Saya ingat saya nonton bersama rekan sekantor saya di bioskop satu-satunya di St. Charles. Bioskopnya cukup tua, walaupun cukup terawat. Saya ingat sebelum film dimulai, yang diputar bukan iklan atau trailer film baru. Tapi atraksi hiburan permainan organ klasik oleh seorang kakek tua. Ah, rupanya tradisi bioskop jaman dahulu di negara Paman Sam.
Alhamdulilah, malam ini saya ternyata dapat menuntaskan Skywalker chapter dengan kembali menyaksikan film Episode IX: The Rise of Skywalker di Amerika Serikat, yang notabene negara asal Star Wars.
Tapi kali ini di New York. Di Regal Cinema yang terletak di W42 Street, tidak jauh dari hotel kami menginap.
Saya hanya nonton dengan Rafif. Karena Elok dan Aya memang sudah punya agenda khusus sendiri: menonton Phantom of the Opera di Broadway.
Tiket masuk untuk nonton di cinema di New York cukup mahal. Satu orang seharga USD23, atau dengan kurs sekarang berarti sekitar Rp 322.000. Kalau ditambah dengan belanja snack dan minum, bisa habis untuk dua orang sebanyak USD70, atau hampir satu juta rupiah. Enakan nonton di Indonesia kemana mana kan? Hahaha.

Tapi untungnya kursi bioskop ini termasuk bagus. Kursi kulit empuk yang bisa direbahkan. Ada sandaran kaki juga. Mirip dengan di kelas Premiere XXI. Layarnya besar dan lebar. Seperti layaknya bioskop IMAX di Gandaria.

Snack nya pun enak. Popcorn asin dan karamel nya terasa jauh lebih berkualitas dari yang di jaringan bioskop Indonesia. Jadi oke lah. Ono rego, ono rupo ☺️


Jam pertunjukan di tiket kami adalah jam 7 malam. Jam 7 kurang sedikit kami sudah masuk ke dalam bioskop. Lho, masih kosong. Padahal tadi saat milih kursi terlihat penuh.
Ternyata saudara-saudara, para penonton lain sudah tahu. Walaupun tiket pertunjukan adalah jam 7, ternyata film baru ditayangkan jam 7.30. Waktu 30 menit dipakai untuk memutar iklan yang buanyak banget, dan juga trailer-trailer film terbaru. Gak papa sih, secara banyak iklan dan trailer yang kita belum tonton. Tapi jadi menjelaskan, kenapa para penonton native pada datang jam 7.30. Hahaha.
Bagaimana dengan filmnya sendiri?
Well, terus terang ini sudah kedua kalinya saya nonton Episode IX: The Rise of Skywalker. Setelah dua kali menonton, film terasa lebih bagus, dan detil-detil kecil lebih tertangkap. Misalnya gerak gerik Ben Solo yang sangat mirip Ayahnya. Atau chemistry interaksi antara Rey dan Ben. Apalagi saat saya kemarin di pesawat menuju New York, saya sempat menyaksikan lagi Episode VIII: The Last Jedi. Semuanya membuat alur cerita dan gerak gerik pemain di dalam film lebih terjelaskan.
Akhirnya saya pun dapat menutup chapter Skywalker saga dengan cukup puas. Apalagi berkah Allah yang mengijinkan saya untuk kembali ke Amerika Serikat setelah 21 tahun, untuk kembali menyaksikan film legendaris ini di tanah kelahirannya.
Alhamdulillah ☺️🙏