
Bagi warga Jakarta, terutama yang sudah tinggal di kota ini dari tahun 80an, pasti tidak asing dengan kafe ini. Paling tidak pasti tahu lokasinya.
Terletak di tengah-tengah atrium Plaza Indonesia, kafe ini bisa dikatakan cukup melegenda.
Bagaimana tidak, sudah berpuluh-puluh tahun masih tetap eksis. Melewati berbagai macam krisis. Mulai dari krisis moneter 1998 sampai krisis pandemi saat ini. Di saat restoran atau kafe lain gulung tikar, kafe ini masih dengan bangganya menduduki lokasi premium di pusat kota Jakarta.

Saya dan Elok di masa lalu jelas tidak berani mampir. Yah namanya penghasilan masih pas-pasan. Hari ini saat melintas, Elok mengajak makan di situ.
Untuk memenuhi rasa penasaran, saya menyetujui. Boleh lah dicoba.
Dan memang, Kafe Lamoda ini bukan tempat makan yang murah. Sop Buntut, yang menurut waitress merupakan salah satu menu favorit, harganya Rp 200.000. Barramundi dengan Sambal Matah, menu favorit lainnya, lebih mahal lagi: Rp 350.000.
Tapi sudahlah, namanya juga mau mencoba sang legenda, kita pesan Sop Buntut dan Cap Go Meh.

Beberapa saat kemudian Sop Buntut Goreng saya keluar. Sekali cicip kuahnya, hmm lumayan enak. Walau agak kurang asin buat saya. Tapi setelah dibubuhi sambal, cita rasanya lebih keluar. Daging buntutnya juga terlihat daging berkualitas. Bergajih dan lembut. Overall not bad lah ya, walau ponten tidak istimewa. 7/10
Pesanan Elok, Cap Go Meh, keluar cukup lama. Saya sudah hampir habis makan, pesanan baru datang.
Rasanya bagaimana? Tanya saya ke Elok.
“Enak, tapi ya biasa saja. Tidak istimewa”.
Oh sama ternyata.
Terjawab sudah rasa penasaran kami terhadap Kafe Lamoda ini. Enak, tapi tidak istimewa. Mungkin lokasi dan setting tempatnya yang strategis dan cozy yang membuatnya istimewa. Istimewa karena kemampuannya untuk bertahan melewati berbagai macam krisis.