
Kami empat bersaudara. Dua laki laki. Dua perempuan. Tiga dari kami, Mas Oyi, Mbak Wiwik dan saya lahir berdekatan. Hanya selang 1 tahun. Makanya kita dekat sekali. Karena teman main sedari kecil. Karena sebaya.


Mas Oyi dan Mbak Wiwik sebagai dua anak tertua diberi nama “marga” turunan dari Almarhum Papa Kresnadi Koesoemo. Mas Oyi ‘Kresnamurti’ dan Mbak Monik ‘Chresnayani’. Dulu saya sempat protes ke Mama, “Mah kenapa kok cuman aku yang namanya kayak Mamah pake ‘Mulya’, gak kayak Mas Oyi dan Mbak Wiwik yang pake nama Papah?”
Jawabannya ternyata muncul 8 tahun setelah saya lahir. Namanya Chita. Adik bungsu kita yang “marga”-nya sama dengan saya ‘Mulya’: Chita Mulyaningtyas. Turunan dari Almarhum Mama Sri Mulyani.

Karena beda lahirnya agak jauh dari kita, maka kita semua memanggil dia “adek”. Ini sekaligus menggantikan gelar “adek” yang sempat tersemat di diri saya selama 8 tahun.
Sejak lahirnya, Adek Chita langsung jadi pusat perhatian keluarga. Papah jadi berhenti hobi mancing. Mamah lebih sering di rumah ngurusin Chita. Kalau pulang sekolah, yang pertama kita cari pasti adek Chita. Intinya mahkluk paling dimanja lah di rumah.
Kadarullah, Papah dan Mamah hanya bisa memanjakan Chita sampai dia SD. Di Kelas 4 SD, Papah secara mendadak meninggalkan kita. Dan Mamah menyusul dua tahun kemudian saat Chita baru kelas 6 SD setelah sakit cukup lama.
Hidup kita sontak berubah 180 derajat dalam kurun dua tahun tersebut. Kita berempat jadi yatim piatu.
Karena kita masih duduk di bangku kuliah, adek Chita harus kita titipkan ke Oom Thom di Bontang untuk sekolah. Sambil kuliah kita mencari duit tambahan. Uang peninggalan Papah dan Mamah hanya cukup untuk membiayai kuliah. Mas Oyi jadi musisi band professional dan kerja di Percetakan. Mbak Wiwik jadi liaison officer dan penerjemah buku. Saya jadi asisten dosen.
Ternyata jauh dari kakak-kakaknya di Jawa tidak membuat Adek Chita betah di Bontang. Jadilah setahun kemudian kita memutuskan Adek untuk pindah ke Semarang. Tinggal bersama Mas Oyi. Mas Oyi jadi pengganti Papa bagi Chita yang harus tumbuh kembang di masa remajanya di Semarang. Mereka hanya berdua di rumah di daerah Pedurungan, Semarang. Karena kita semua memang tinggal berbeda kota. Mbak Wiwik kuliah di Jakarta. Saya di Jogja.

Tapi syukur Alhamdulillah, Allah melindungi kita berempat. Walaupun tinggal berbeda kota, tanpa orang tua, kita dapat menyelesaikan studi kita masing-masing. Dan saat setelah lulus kuliah, kita semua berkumpul di Jakarta. Menikah dan membina rumah tangga masing-masing.
Sejak kita yatim piatu itulah, Mas Oyi menjadi sosok pemersatu keluarga kami. Mas Oyi menjadi pengganti Papa, bukan hanya Chita, tapi untuk kita semua. Di awal-awal kita berkeluarga, Mas Oyi yang paling getol mengajak ketemuan bareng, pergi bareng. Sampai kemudian memprakarsai Copa Kresnadi, ritual jumpa keluarga yang sempat saya tulis di seri tulisan Kenangan Mas Oyi sebelumnya.
Walaupun kita berempat berbeda keyakinan, tapi Mas Oyi selalu menegaskan bahwa aqidah agama yang dipercayainya, tidak memupuskan kecintaannya kepada adik-adiknya semua.





Itu yang kita ingat dari Mas Oyi. Figur pengganti Papa, yang berpulang tepat seminggu lalu. Secara mendadak, Mas Oyi dipanggil sang Khalik. 4 hari sesudah 30 tahun Papa berpulang dengan cara yang sama mendadaknya.
Sampai hari ini pun, kami bertiga masih sangat sedih dan merasa kehilangan. Tapi nasehat Mas Oyi untuk kita tetap terus dekat dan rukun Insya Allah akan kita lanjutkan.
Selamat jalan Mas. We love you. And miss you every single day.
Don’t worry, as you said, this life tragedy will make us stronger. Just like before.
Serial tulisan kenanganku pada abangku tersayang, Mas Oyi.