
Dengan kemenangan atas Fulham kemarin, Manchester United (Man Utd) sementara berada di Posisi 4, menggeser Chelsea yang dibantai Manchester City secara mengenaskan.
Keberhasilan menyodok ke peringkat 4 ini hampir tidak terbayangkan di bulan Desember lalu. Saat banyak fans (Man Utd) menganggap musim 2018-2019 sudah usai.
Pasalnya, tim asuhan Jose Mourinho baru saja dibantai 3-1 oleh rival klasik Liverpool. Dengan form yang naik turun, Man Utd terpuruk di posisi 6 dan terpaut 19 poin dari Liverpool sebagai pemuncak klasemen, dan 11 poin dari Chelsea, peringkat keempat. Dan di babak 16 besar Champions League, United sudah ditunggu oleh kandidat juara, Paris Saint Germain. Hidup terasa berat, karena musim masih belum lewat separuh, tapi asa sudah hampir pupus.

Fast forward to today, Ole Gunnar Solksjaer ditunjuk menggantikan Jose Mourinho, sesaat setelah kekalahan di Anfield tadi. Lo and behold, melewati jadwal festive season yang padat, Man Utd seakan lahir kembali. 11 pertandingan dilalui tidak terkalahkan, termasuk 8 kemenangan beruntun. Dan 5 kemenangan away beruntun. Dan kemenangan dengan 5 gol pertama sejak Sir Alex Ferguson lengser. Apa-apaan ini? Ole ole ole.
Kebetulan Belaka?
Paul Ince, salah satu mantan pemain Man Utd (dan Liverpool) sempat mengomentari bahwa “ia bisa melakukan apa yang dilakukan oleh Ole apabila ia ditunjuk sebagai caretaker manager menggantikan Mourinho”.
Benarkah?
Saya rasa tidak. Ada tiga alasan:
Yang pertama, Paul Ince belum pernah berpengalaman melatih tim reserve dan junior Man Utd seperti Ole. Jadi hampir mustahil Ince dapat langsung memberikan instant impact seperti Solksjaer. Salah satu kelebih Solksjaer adalah dia sudah tahu dan berpengalaman sistem kepelatihan di Man Utd.

Yang kedua, Solksjaer sebagai mantan pelatih tim academy Man Utd, sudah pernah melatih Pogba, Lingard dan Rashford. Ince tidak memiliki kedekatan dengan mereka seperti Solksjaer, dan tidak tahu bagaimana memanfaatkan kelebihan masing-masing.
Dan yang terakhir, Paul Ince bukanlah legenda Man Utd yang direspek oleh seluruh squad dan pelatih tim seperti Solskjaer. Bahkan dulu Sir Alex Ferguson menjulukinya “Big time Charlie“, sebelum akhirnya Ince menyeberang ke Merseyside (kesalahan fatal). Bedakan dengan status Solksjaer sebagai pahlawan kemenangan United di Piala Champions 1999 dengan julukan “baby face assassin“. Semua orang di klub respek padanya.
Jadi cukup untuk komentar Ince. Talk is cheap.
Sekarang sebetulnya apa yang membuat Man Utd bisa berubah total dari jaman kegelapan di bawah Mourinho?
Berikut adalah perbedaan mendasar dari era kepelatihan Solksjaer dengan Mourinho, yang menurut saya mampu memutarbalikkan suasana di Old Trafford:
Aura Positif.
Sejak hari pertama menjabat, fans Man Utd sudah disegarkan melihat manajer tim yang memancarkan aura positif. Bertolak belakang dengan Mourinho.
Kalau dirunut, sejak awal pre-season musim 2018-2019, Mourinho sudah menunjukkan gejala third season syndrome. Baru sampai Amerika Serikat untuk tur pre-season, Mourinho sudah mengeluhkan mengenai persiapan pre-season yang berantakan. Kabarnya beliau mutung karena tidak didukung oleh petinggi klub untuk membeli bek tengah yang baru.
Perilaku negatif ini berlanjut saat musim dimulai. Pogba dihardik saat berlatih. Valencia dicopot dari band kapten. Martial dicadangkan dan diancam akan dijual. Kegagalan Rashford memanfaatkan peluang dibahas di konferensi pers. Dan berulang kali Mourinho menyalahkan attitude dari pemain saat mendapatkan hasil yang kurang memuaskan.
Aura negatif juga merambat ke lapangan. Permainan negatif yang terlalu fokus untuk bertahan membuat permainan Man Utd menjadi membosankan. Gol pun jarang terjadi. Semua jadi serba salah. Posisi semakin terpuruk, dan pemain seakan hilang gairah.
Sampai akhirnya Ole datang dan merubah mood klub.

Saat press conference pertamanya, Ole hadir dengan senyum lebar dan raut muka ceria. Sangat jauh dari all gloom and doom persona portrayed by Mourinho.
Ole kemudian menyampaikan tiga tujuan utamanya: ingin membuat Man Utd memainkan sepakbola yang menarik, menghibur penonton, dan membangkitkan semangat pemain untuk berjuang membela klub.
Ternyata sampai sejauh ini berhasil. Bahkan lebih.
Pogba diberikan keleluasaan untuk menyerang. Martial kembali menemukan kepercayaan dirinya dalam men-dribbling. Dan Rashford menjadi lebih tajam. Para pemain tidak takut melakukan kesalahan, karena mereka tahu Manajer-nya berpandangan positif. This made very BIG difference.
Fokus pada Tim, Bukan Saya.
Sedari dulu figur Mourinho memang unik. Saat awal datang ke Inggris, ia memproklamirkan diri sebagai “the Special One“. Semakin ke sini, tingkah Mourinho semakin menjadi. Ia menjadi laksana primadonna. Everything is about him.
Entah karena deretan keberhasilan membuat dia angkuh. Atau juga karena sorotan pers yang semakin tajam kepada dirinya, Mourinho pun bereaksi dengan lebih bertingkah.
Tingkah laku primadonna ini terlihat saat Man Utd lolos ke babak 16 besar Champions League. Dalam konferensi pers nya Mourinho alih-alih memberi kredit kepada pemainnya, namun lebih memfokuskan pada rekornya sebagai pelatih yang tidak pernah gagal membawa timnya lolos dari fase grup.

Bandingkan dengan Solksjaer. Walaupun sudah jelas prestasinya di atas harapan sejauh ini, Ole tidak pernah sekalipun memberikan kredit pada dirinya.
“It’s all because of team work”
“Well, it’s kind of easy if you have fantastic players with you”
“It’s not only me.. it’s also because of Phelan, Carrick, Kenna…”
Solksjaer berhasil merangkul seluruh elemen penting Man Utd karena ia mengutamakan kebersamaan tim atau klub di atas kegemilangan pribadi.
Sesuai Filosofi Klub
Selepas Sir Alex Ferguson lengser, fans Man Utd melihat timnya seakan kehilangan jati diri. Permainan tidak jelas. Kadang menarik, lebih sering tidak.
Saat kepemimpinan Moyes, Man Utd seakan-akan tidak punya plan B selain crossing dari sayap. Padahal Moyes lupa, di timnya saat itu kemampuan crossing sudah tidak ada. Beckham sudah tidak ada, Valencia kurang ahli crossing, dan Giggs sudah dimakan usia. Akibatnya berkali-kali serangan buntu tanpa alternatif. Man United terpuruk di posisi 6 pada peringkat akhir.
Masa LVG lain lagi. Filosofi sepakbola yang ditekankan oleh LVG tidak pernah sampai di benak para pemain. Alhasil Man United lebih banyak melakukan sideways passing dan kurang inspirasi dalam melakukan serangan menusuk. Stretford End pun kerap berteriak frustasi “Attack! Attack! Attack!“, meminta Setan Merah untuk menyerang. Hasilnya pun kurang memuaskan. Posisi 4 di musim pertama, dan Piala FA di musim kedua tidak cukup membuat LVG bertahan di klub.

Terakhir, Mourinho pun demikian. Memang ia berhasil merebut Europa League dan League Cup di musim pertamanya. Tapi Man United juga tidak menunjukkan jati dirinya sebagai tim yang disegani lawan karena permainannya yang trengginas.
Walaupun musim lalu secara posisi masih menempati peringkat kedua, namun secara permainan Man United dinilai menyalahi filosofi permainan klub. Tim ini terlalu bertahan di bawah Mourinho. Saat menghadapi tim papan atas seringkali Man United dilecehkan karena “memarkir bis” di depan gawang. Mengandalkan serangan dengan umpan langsung ke depan, dengan harapan fisik superior dari Ibrahimovic, Lukaku ataupun Fellaini akan dapat berbuah gol.
Beberapa kali memang taktik ini berhasil. Tapi deep down in Man United fans’ hearts (termasuk saya), kita tidak puas. Kita yang dibesarkan dengan permainan atraktif squad Sir Alex Ferguson selama dua dekade terakhir dipaksa menelan kenyataan kalau tim ini sudah berubah jati diri.
Alhamdulillah, Ole datang. Dan Ole mengembalikan filosofi klub Man United kembali. Filosofi sepakbola menyerang yang sudah dipegang teguh bahkan sebelum era keemasan Busby Babes.
Filosofi ini diwujudkan oleh Ole dengan memainkan tiga figur lulusan akademi sebagai tulang punggung. Apabila Rashford, Lingard dan Pogba bermain bersama, kita seakan dibawa kembali ke kapsul waktu, saat Giggs, Scholes dan Beckham menguasai pentas liga Inggris. Permainan menyerang yang cepat, atraktif, banyak gol dan berbuah kemenangan.

Terhitung sejak Solskjaer menjabat di pertengahan Desember 2018, Manchester United sudah mengumpulkan 25 poin. Hasil 8 kali menang dan 1 kali seri di Premier League.
Apabila liga Inggris dimulai saat Ole mulai menjabat, maka Manchester United kini berada di puncak klasemen. Di atas City, Liverpool ataupun Spurs. Sayangnya Ole harus menanggung hasil buruk third season syndrome Mourinho. Jadi saat ini menapaki Peringkat 4 sudah merupakan prestasi yang luar biasa. Sesuatu yang tak terbayangkan di awal bulan Desember, saat saya dan jutaan fans Man Utd lain di seluruh dunia merasa musim ini sudah usai.
Kini, Old Trafford kembali berani bermimpi. Bermimpi untuk mengatasi PSG besok lusa. Bermimpi untuk tetap bertahan di posisi 4 pada akhir musim. Dan yang paling penting, bermimpi untuk kembali menjadi tim Manchester United yang disegani lawan karena permainannya yang atraktif dan mentalitas tak mau kalah.
Karena keberhasilannya membuat fans Man Utd kembali berani bermimpi inilah, apapun hasilnya di akhir musim nanti, Solksjaer saya rasa pantas diberikan kepercayaan untuk menjadi manajer tetap Manchester United. Semoga!
Welcome back to Theatre of Dreams, Ole!