
Setelah 10 bulan bersama-sama di rumah, hari Selasa kemarin, Mbak Aya, anak saya yang tertua kembali meninggalkan rumah. Kali ini tidak kembali ke Jogja, namun berangkat ke Belanda. Tepatnya ke Deventer. Kota kecil 1.5 jam dari Amsterdam. Di sana Mbak Aya berencana menempuh studi satu tahun. Sebagai kelanjutan studi double degree di Saxion University. Mengambil International Finance, sebagai tambahan gelar Sarjana Akuntansi yang Insya Allah akan diraih seusainya kuliah di FEB Universitas Gadjah Mada.

It’s a mixed emotions. Di satu sisi, bersyukur dan bahagia melihat Aya akan mendapatkan pengalaman menempuh studi di luar negeri. Bagi saya, hal itu sangat penting. Pengalaman saya mengajarkan saat saya kuliah di Nanyang Technology University Singapura benar-benar membuka cakrawala saya. Memang hanya enam bulan. Tapi pengaruhnya seumur hidup. Memberikan saya perspektif yang sungguh berbeda dibandingkan dengan saat menduduki bangku kuliah di Jogja. Saya menuliskan beberapa pengalaman saya di tautan ini.

Tapi tak dapat dipungkiri. Kepergian Mbak Aya kembali meninggalkan ruang kosong di rumah kami. Dan lebih kosong lagi di hati kami berdua. Maklum, dua jantung hati kami kini berada di negeri orang. Sama-sama menempuh studi dan menimba pengalaman hidup di sana. Walaupun sedih, terutama saat mengingat mereka saat kecil, kami sadar ini langkah terbaik untuk Aya dan Rafif. Semoga studi mereka dapat diselesaikan tepat waktu. Dan pengalaman ini membuat mereka menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Dan lebih siap menghadapi persaingan hidup di dunia kerja yang segera menanti.

Memang benar istilah anak itu adalah “titipan Tuhan”. Kita hanya dititipkan untuk memberi mereka bekal. Menyiapkan sayap. Saat sayap itu sudah mulai kuat dan siap mengepak, kita pun sebagai orang tua harus siap melepaskan.
Tapi semoga kami juga selama ini sudah memberikan “kandang” yang berkesan bagi mereka. “Kandang” yang akan selalu mereka ingat. Yang akan selalu membawa mereka kembali. Insya Allah, aamiin.