
Jogja selalu menjadi kota yang spesial buat kami. Saya menyelesaikan kuliah 5 tahun di sini. Aya, anak saya pertama, juga barusan menamatkan di fakultas yang sama. Di masa pacaran dulu, saya dan Elok juga punya tempat-tempat spesial yang kita kenang.
Mungkin hanya Rafif yang tidak terlalu punya kenangan dengan kota ini.
Tapi kami sekeluarga selalu menikmati berkunjung ke sini. Walaupun yang paling sering dikunjungi adalah nostalgia kulineran makanan khas Jogja.
Bagi saya, spot kulineran yang wajib saya kunjungi sebetulnya ada dua: Sego Pece Bu Wiryo di kawasan Kampus Universitas Gadjah Mada, dan Soto Daging Pak Sholeh Tegalrejo. Hampir selalu saya mampir ke dua tempat ini untuk sarapan atau makan siang.
Tapi karena dalam 1 bulan ini saya sudah 3 kali ke Jogja, kali ini kita tidak ke Soto Sholeh. Kunjungan diarahkan ke Soto Ayam Kadipiro.

Ternyata cukup kangen juga dengan soto satu ini. Kuah yang gurih manis ditambah dengan potongan ayam ungkep yang terhidang melimpah di depan mata menjanjikan cita rasa yang lezat.
Kami juga menyempatkan diri jalan-jalan ke Malioboro. Kawasan paling terkenal di Jogja yang sudah lama tak dikunjungi. Penasaran saja sih, ingin melihat langsung hasil penataan pedagang kaki lima yang kini dipusatkan di area Teras Malioboro di beberapa titik sekitar jalan kondang ini.

Memang sih, kawasan jadi lebih rapi dan tertata. Pedestrian cukup lapang untuk dilalui pejalan kaki dengan nyaman. Kursi untuk beristirahat sambil menikmati suasana sekitar juga banyak tersedia. Tapi saya mengamini pendapat istri saya Elok, “kok barang dagangan lebih menarik kalau digelar di Jalan Malioboro ya”

Betul sih. Seakan ada yang hilang dari suasana akrab dan hangat yang selama ini hadir di Malioboro. Sapaan ramah para penjual, dan sesaknya jalan karena penuh senggolan antar pengunjung sepertinya sudah menjadi trade mark yang melekat di benak kita. Saat suasana itu hilang, walaupun mungkin lebih nyaman untuk berjalan, dan lebih rapi untuk dilihat, tetap saja ada yang kurang.
Tapi mungkin itu karena kita generasi tua saja. Mungkin anak-anak seperti Aya dan Rafif lebih menyukai suasana yang sekarang?
Tapi Jogja tetaplah Jogja. Masih banyak pesona unik yang dihadirkan kota pelajar ini. Pesona yang membuat saya dan Elok berkeinginan untuk menghabiskan masa tua di kota ini. Insya Allah.
