Jogjarockarta 2019: Extreme dan Tradisi Fans Rock Lawas

Atas: di depan backdrop Jogjarockarta. Bawah: berseragam Extreme

Minggu lalu sudah jadi tahun ketiga berturut-turut saya dan teman-teman saya yang sealiran musik untuk menghadiri festival rock Jogjarockarta.

Festival rock yang diselenggarakan promotor Rajawali ini konsisten menghadirkan band-band rock lawas. Yang mengusung musik rock di media 80-90 an. Masa-masa di mana saya dan teman-teman saya ini duduk di sekolah menengah. Masa di mana kita pertama jatuh cinta pada musik cadas.

Tradisi menghadiri Jogjarockarta kita mulai di tahun 2017. Saat itu headliner-nya adalah Dream Theater. Salah satu band favorit saya, yang menyelenggarakan tur 25 tahun anniversary album mereka yang monumental “Images & Words

Lalu tahun lalu, headliner nya adalah Megadeth. Band legenda metal yang baru saja meraih Grammy dengan album “Dystopia“.

Tahun ini giliran Extreme, group band funk rock dari Boston, Amerika Serikat.

Siapa itu Extreme?

Mungkin untuk sebagian besar pecinta musik, Extreme hanya dikenal melalui lagunya “More Than Words“. Namun bagi kami, khususnya saya, melabel Extreme hanya sebagai pelantun lagu hits itu sesungguhnya sebuah “kriminalitas”. They are much better than that.

Saya justru pertama mendengarkan Extreme dari lagu “Decade of Decadence“. Track pertama dari album kedua mereka “Pornografitti“. Kala itu di awal tahun 1991. “More Than Words” belum melejit menjadi hit. Tapi dari sekilas dengar saya di toko kaset Aladdin di Berbas, Bontang, saya langsung terpincut. Aroma gitar funk-rock yang kental dari seorang Nuno Bettencourt terasa atraktif. Ditambah dengan ritem groovy dari Pat Badger dan Paul Geary membuat lagu tersebut langsung masuk ke kuping. Kaset seketika saya beli, dan pada beberapa putaran kaset berikutnya, saya sudah fasih mendendangkan “Get the Funk Out”. Tapi nama Extreme masih asing dari kalangan musik mainstream.

Panggung Extreme di Jogjarockarta dengan latar belakang album Pornografitti

Baru di pertengahan tahun itu, saat saya sudah lulus SMA dan pindah ke Jakarta, saya mendapati video klip “More Than Words“, yang merupakan single lain dari album yang sama, berulang-ulang diputar di radio Prambors. Ataupun di acara musik RCTI, Rocket. Extreme had became world wide sensation.

Sayang kemudian di awal 90-an tersebut dunia musik rock disapu oleh wabah grunge. Meledaknya album grup band dari Seattle, seperti Nirvana, Pearl Jam dan Soundgarden seakan menyebarkan virus mematikan bagi grup-grup rock “konvensional”, aka lawas.

Termasuk Extreme.

Padahal di tahun 1993, Extreme merilis album, yang menurut saya, adalah salah satu album terbaik musik rock sepanjang sejarah. Their masterpiece. Di album yang bertajuk “III Sides of Story” tersebut, Extreme menampilkan tiga sisi berbeda.

Sisi pertama (“You”) menampilkan Extreme yang selama ini dikenal. Lagu-lagu berirama funk rock yang upbeat dan asyik didengar. Sisi kedua (“Mine”) adalah sisi Extreme yang melankolis. Dipenuhi lagu ballad dan syair rintihan hati Nuno dan Gary dalam percintaan dan romantika masa lalu. Dan sisi terakhir (“The Truth”) Extreme mereinkarnasi band favorit mereka, Queen. Tiga lagu epik ditampilkan, dengan sentuhan orkestra dan harmoni vokal yang indah. Tak heran Brian May, gitaris Queen, sempat menyatakan pada publik kalau Extreme adalah band terbaik yang dapat menampilkan lagu-lagu Queen di atas panggung.

Sayangnya, album ini tidak sukses secara komersial. Fans Extreme kebanyakan pun, apalagi yang nge-fans hanya karena “More Than Words“, mencemooh Nuno cs hilang arah. Nama Extreme pun semalin tenggelam dalam sapuan Seattle sound.

Namun Nuno Bettencourt dan kawan-kawan tetap eksis di jalur musik rock. Mereka memang sempat merilis album “Waiting for Punchline” di tahun 1995. Dan juga di tahun 2008 melalui album “Sausades de Rock“. Tapi hanya segilintir fans Extreme yang mendengarkan album-album ini. Saya salah satunya.

Dan di tahun 2008 sebetulnya Extreme juga sempat menggelar konser di Jakarta. Sebagai fans Extreme, saya pun tak ketinggalan untuk hadir di Istora Senayan saat itu. Dan memang di tahun 2017 Nuno Bettencourt sempat juga tampil sebagai solois dalam konser gitar “Generation Axe“. Tapi baru minggu lalu di Jogja, ia bersama Extreme kembali hadir ke Indonesia.

Tradisi Jogjarockarta

Sejak dikonfirmasi oleh promotor kalau Extreme akan hadir di Jogjarockarta, saya dan teman-teman sudah mulai membeli tiket presale, tiket pesawat dan booking hotel. Kami bertekad melanjutkan tradisi nonton bareng Jogjarockarta untuk tahun ketiga.

Tiket masuk Jogjarockarta

Teman-teman saya ini adalah teman-teman SMA yang sama-sama menyukai musik rock. Nungki, Godot, Guson, Riko dan Gravin. Kami berkomunikasi melalui group Whatsapp “Hair Metal”. Dari nama group-nya sendiri sudah tahu dong era musik yang kami gemari 🙂

Ya, kami adalah fans musik rock yang besar dengan nama-nama seperti Motley Crue, Poison, Guns ‘N Roses, Metallica, Bon Jovi – band-band yang besar di dekade 80an. Di WA grup ini lah kita sering berbagi info mengenai band-band idola kita yang umumnya sudah berusia. Dan tentunya berkoordinasi untuk nonton bareng konsernya, apabila mereka hadir ke Indonesia.

Kalau diingat-ingat, pertama kali kita nonton bareng adalah saat Mr. Big konser di Jakarta. Saat itu mereka tampil di ajang Javarockinland di tahun 2009, di Ancol. Seiring dengan lebih mudahnya berkomunikasi dengan sarana BBM Group, dan kini Whatsapp, maka kami pun dapat lebih sering bersama menyaksikan jawara-jawara gaek kita. Festival Hammersonic, konser Metallica sampai Guns ‘N Roses tak dilewatkan, walaupun belum pernah seluruh anggota grup komplet nonton bareng.

Termasuk juga pada festival rock Jogjarockarta minggu lalu. Tanpa Gravin yang batal ikut, kami berlima hadir di Kridosono.

Foto khas “We were here”

Seperti umumnya festival rock, Jogjarockarta juga menampilkan band-band lokal selain Extreme sebagai headliner. Tahun ini Edane dan Jamrud tampil sebelum Extreme.

Berdasarkan jadwal, Edane tampil lebih dulu jam 7 malam. Baru lalu Jamrud jam 8. Kemudian disambung Extreme.

Saya rencananya ingin menyaksikan Edane. Saya cukup suka band ini, terutama karena sosok Eet Syachranie, salah satu dewa gitar Indonesia. Sayangnya kita terlambat makan malam, jadi saat masuk ke Kridosono, Edane sudah selesai manggung.

Jadilah kita menyaksikan dulu band Bandung yang terkenal di dekade 90an: Jamrud. Dengan lagu-lagunya yang bermelodi kuat dan berlirik simpel. Sehingga mampu menjaring penggemar sampai lapisan bawah. Yang fenomenal mungkin lagu “Pelangi di Matamu” yang sempat dinyanyikan mantan Presiden SBY. Dan membuat popularitas beliau meroket sebelum Pilpres.

Jamrud di atas panggung

Dan memang terbukti Jamrud masih banyak penggemarnya. Ribuan penonton bersemangat ikut bernyanyi dengan Kristanto. Vokalis Jamrud yang saya patut acungi jempol. Kegarangan suaranya seperti tak tergerus usia. Saya pun ikut mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama. Boleh lah penampilan Jamrud.

Akhirnya tepat pukul 9 malam Extreme tampil. Dibuka dengan riff lagu khas Nuno, “It’s a Monster“. Dari album Pornograffitti. Funk rock berkumandang. Penonton sontak bergoyang.

Sayang kualitas suara yang keluar dari speaker panggung tidak bagus. Tidak imbang. Gitar Nuno terdengar sangat kasar. Vokal Gary timbul tenggelam. Sound drums Kevin Figuera saja yang masih terdengar mantap.

Ironis, karena sebelumnya saat Jamrud manggung, saya sempat memuji sound system. Saya nyeletuk ke Godot, “wah promotor sudah tiga tahun penyelenggaraan tambah bermodal nih. Sound system tambah bagus”. Godot pun mengangguk mengiyakan.

Entah kenapa saat Extreme naik panggung, suaranya berubah. Alih alih ingin mendengarkan tontonan kelas dunia, suara yang keluar mengecewakan. Ironis.

Pat, Gary, Nuno dan Kevin di atas panggung

Dan para personil Extreme pun ikut merasakan masalah tersebut. Beberapa kali Nuno seperti komplain ke teknisinya. Mungkin suara di monitor juga tak terdengar bagus. Bahkan ia sempat bertanya ke penonton, “Does it sound ok?

Yang dijawab penonton kita dengan sorakan yakin, “yeaaah“.

Bangsa kita memang sopan. Dan gampang dipuaskan. Hehehe.

Tapi untunglah Extreme tetap professional. Mereka tetap bermain total. Lagu demi lagu dilantunkan. Kebanyakan dari dua album mereka yang paling terkenal: Pornograffitti dan III Sides to Every Story.

Puncaknya apalagi kalau bukan saat “More Than Words” dinyanyikan. Saat Nuno bersiap dengan gitar akustiknya dan duduk berdampingan dengan Gary Cherone, ia bercanda dengan penonton: “You must know what the song is? Two guys sitting side by side with acoustic guitar?

Saat penonton bersorak bersiap bernyanyi bersama lagu More Than Words, tetiba Nuno memainkan intro lagu “(Wanted) Dead or Alive“-nya Bon Jovi. Hahaha.

I wish I wrote that song“, canda Nuno.

Akhirnya “More Than Words” pun dilantunkan. Stadion Kridosono spontan menjadi ajang karaoke bersama. Saya pun ikut bernyanyi karena hafal lirik luar kepala. Dan ikut dengan ribuan penonton lain mengabadikan momen magis ini. The power of the song is so wonderful.

Tapi buat saya pribadi, lagu terbaik yang dinyanyikan oleh Extreme malam itu adalah “Am I Ever Gonna Change?

Lagu epik dari album masterpiece mereka. Yang menunjukkan kualitas musikalitas dari seluruh personil Extreme. Mengemas komposisi lagu yang kompleks, megah dengan harmoni vokal ala Queen yang istimewa. Untuk beberapa saat saya merasa in trance. Perasaan seakan saya berada di kamar kos Pogung Baru 25 tahun yang lalu. Istimewa.

Akhirnya konser ditutup dengan lagu tribute bagi favorit mereka: Queen. Menyanyikan lagu “We Are the Champions” bersama ribuan rocker di Kridosono. Termasuk kami, fans rock lawas yang gembira dapat bernostalgia bersama di kota Jogja yang penuh kenangan.

Kami pun meninggalkan Kridosono, dengan tekad untuk melanjutkan tradidi. Di bulan Maret Untuk menghadiri Jogjarockarta 2020. Dengan double headliners: Whitesnake dan Scorpions. Semoga kali ini personil grup WA “Hair Metal” dapat hadir komplet. Rock never dies! 🤟

Yang juga menjadi tradisi: foto ala rock band di gardu listrik Kotabaru ☺️
Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s