
Sejak dulu saya suka olah raga. Segala macam olah raga sepertinya saya bisa. Walau tak pernah jago. Tapi ada satu olah raga yang saya tidak pernah tekuni: lari.
Don’t get me wrong. Saya suka lari. Cenderung kalau lari juga lumayan cepat. Makanya dulu waktu aktif main bola di lapangan besar, posisi saya biasanya striker atau pemain sayap.
Hanya saja karena bukan olahraga permainan, kalau berlari saya cenderung suka bosan. Kalau boleh memilih, saya lebih baik sprint 100 meter daripada lari jarak menengah atau jauh. Rasanya akan bakal mati kebosanan untuk berlari sedemikian jauh, dan lama.
Tapi ternyata keharusan untuk “Work from Home” empat bulan terakhir ini membuatku “terpaksa” untuk berlari.
Saat-saat awal pandemi, keluar rumah masih dilarang. Hobiku berolahraga pun mendapatkan keterbatasan. Golf tidak mungkin. Bersepeda tidak bisa. Renang pun masih takut. Jadi pilihan untuk olah raga sangat terbatas di dalam rumah. Padahal tidak olah raga badan rasanya tidak enak. Jadilah saya berlari.
Saya mulai dengan lari di treadmill milik istri saya. Sambil nonton YouTube. Bisa berlari jarak 2 km di treadmill sudah berpeluh ngos-ngosan. Mulai meningkat ke 3 km. Sampai kemudian saya merasa bosan. Lalu mencoba untuk lari di luar. Walau hanya sekitar kompleks.

Mulai lari mengitari kompleks ternyata menyenangkan. Sambil mendengarkan lagu favorit atau podcast, saya mendapatkan apa yang orang bilang “runners high”. Perasaan ketagihan apabila selesai berlari. Perasaan puas dan senang, karena keluarnya endorphin. Perasaan ingin untuk segera lari kembali.
Jadilah saya mulai serius mendalami olah raga ini. Beli sepatu khusus untuk berlari. Meng-upgrade fitness tracker saya. Memasang target di aplikasi Strava. Sedikit demi sedikit saya menambah jarak dan meningkatkan kecepatan. Rasanya senang sudah bisa berlari 5K dengan pace di kisaran 6 menit per km.

Hanya kemudian timbul masalah sebagaimana halnya pelari newbie. Detak jantung saya ternyata terlalu tinggi. Sebagian besar porsi waktu berlari dihabiskan di zona “merah”. Hal ini tentu tidak menyehatkan dan membahayakan di jangka panjang.
Oleh karenanya, berdasar dari video panduan di YouTube, saya mulai belajar menurunkan detak jantung. Tujuan saya kali ini bukan mempercepat pace. Tapi lebih pada menempuh jarak dengan detak jantung di zona yang sehat.
Alhamdulillah minggu lalu saya berhasil mencapai hal itu. Untuk pertama kali saya bisa menyelesaikan lari 10K. Walaupun pace saya melambat di kisaran 7:39 per km, tapi yang membahagiakan, detak jantung saya sebagian besar berada di zona “aman”. Alhamdulillah.


Jadi di bulan Juli ini saya akan melanjutkan karir menjadi pelari. Berusaha meningkatkan kecepatan dengan tetap di zona jantung aman. Kendati demikian, meningkatkan jarak sepertinya tidak menjadi pilihan saya. Saya pun tidak berambisi ikut marathon.
Tapi triathlon sepertinya menarik. Secara saya juga suka berenang dan bersepeda. Jadi saya berusaha setiap minggu meluangkan waktu untuk berenang, bersepeda dan berlari. Doakan istiqomah, sehingga setelah pandemi ini berakhir saya akan dapat mengikuti lomba lari 10K ataupun triathlon. Can’t wait!
Salam sehat buat semuanya!

2 Comments Add yours