
Judul tulisan ini adalah “remake” dari tulisan saya di tahun 2006. Saat saya sebagai pendukung timnas Inggris merasa optimis Inggris akan jadi Juara Dunia. Saat itu tim nasional Inggris akan berhadapan dengan Portugal di perempat final.
Kenapa saya katakan “Old Adversary”? Karena pelatih Three Lions saat itu, Sven Goran Eriksson akan bertemu untuk ketiga kalinya dengan Luiz Felipe Scolari, pelatih timnas Portugal. Ini pertemuan ketiga kali secara berturut-turut. Di Piala Dunia 2002, tim besutan Eriksson keok dari tim Brazil asuhan Scolari. Yang kemudian jadi Juara Dunia. Berikutnya di Piala Eropa 2004, lagi-lagi Eriksson tunduk dari Scolari. Yang saat itu pindah menangani timnas Portugal.
Malangnya, di pertemuan ketiga hasilnya pun setali tiga uang. Timnas Inggris, yang saat itu digadang-gadang sebagai “golden generation” (kapan sih enggak golden-nya?) kembali takluk. Kali ini lewat drama adu penalti.
Nah kini di Piala Eropa 2020 (yang berlangsung tahun 2021 karena pandemi), timnas Inggris kembali bertemu “old adversary”. Tapi kali ini bukan antar pelatih. Tapi “musuh lama” Inggris. Yang bernama Jerman.
Sejarah Perseteruan
Sejarah perseteruan dua negara ini sudah bermula sejak Perang Dunia I. Inggris yang berpihak pada Perancis, berhadapan dengan Jerman yang beraliansi dengan Ottoman, Austria dan Hungaria. Konflik terus berlanjut sampai Perang Dunia II. Lebih sengit bahkan, dengan hegemoni Nazi-nya Hitler melawan aliansi Inggris dan Amerika Serikat. Jadi kalau memang kalau ada rasa getir di antara fans kedua negara, ya memang ada sejarahnya.
Ngomong-ngomong soal getir, sepertinya lebih banyak getir di fans Inggris. Menilik dari prestasi di turnamen internasional. Satu-satunya kemenangan Inggris didapat saat final Piala Dunia 1966. Mengalahkan Jerman (saat itu masih Jerman Barat) di final. Yang sampai kini masih menjadi satu-satunya Piala internasional untuk Inggris.
Sisanya? Rekor pertemuan dikuasai Jerman. Piala Dunia 1970, Piala Dunia 1990 dan Piala Eropa 1996 adalah tiga pertemuan antara Jerman (Barat) dengan Inggris yang selalu dimenangkan oleh Jerman. Dan sakitnya, di ketiga kesempatan tersebut Jerman selalu muncul sebagai pemuncak kejuaraan.
Perseteruan ini juga terjadi di keluarga saya. Kakak tertua saya, Mas Oyi, adalah die hard fans Jerman. Sejak dulu Jerman yang kala itu masih disebut Jerman Barat masih diperkuat Karl Heinz Rummeneigge di tahun 1982, Mas Oyi sudah mendukung der Panzer.
Saya agak labil. Sebelumnya mendukung Belanda saat trio Gullit-Basten-Riijkard menjuarai Piala Eropa 1988. Tapi sejak tahun 1990-an, hati saya terpincut ke timnas Inggris. Seiring dengan dukungan ke klub Inggris, Manchester United.
“Golden Generation” dan “Football Comes Home”
Tapi ya dukungan saya ya sepertinya jauh panggang dari api. Sepertinya sudah tiga kali “golden generation” dikumandangkan oleh media Inggris. Tapi hasilnya sama saja. Piala Dunia 1966 masih merupakan trophy semata wayang bagi Inggris.
Golden generation pertama adalah di masa keemasan Paul Gascoigne dan Alan Shearer di tahun 1996. “Football comes home” katanya. Karena kebetulan memang pentas Euro 1996 berlangsung di Inggris. Euphoria meledak saat Gascoigne melakukan gol fantastis ke gawang Skotlandia. Dilanjutkan dengan selebrasi “dentist’s chair” yang terkenal. Tapi kemudian, langkah Inggris terhenti di semifinal. Yang mengalahkan? Siapa lagi kalau bukan Jerman.
Padahal semangat Football Comes Home saat itu lagi tinggi-tingginya, secara England’s golden generation adalah tuan rumah. Saya tak akan pernah lupa wajah angkuh Andreas Moller saat memasukkan tendangan penalti kemenangan.

Lalu golden generation selanjutnya sepertinya lebih menjanjikan. Seiring dengan berkuasanya Manchester United dengan Class of 92 nya di level klub dunia. Beckham, Scholes, Neville, Ferdinand bergabung dengan Lampard, Gerrard. Di atas kertas bertabur bintang. Pelatihnya pun berganti dari pelatih top kaliber internasional Sven Goran Eriksson sampai Fabio Capello. Hasile podho wae. Rata-rata gagal di perempatfinal. Seringnya lewat adu penalti.

Nah golden generation terakhir ini mungkin yang tampil di pentas Piala Eropa kali ini. Belum sampai puncak karir sih mereka. Karena Inggris datang dengan squad yang penuh talenta muda. Grealish, Foden, Sancho, Mount, Bellingham, Rice. Bergabung dengan “senior” di timnas seperti Kane, Maguire dan Henderson. Usia rata-rata squad termuda sepanjang sejarah keikutsertaan Inggris di major international tournaments.
Dan berbekal hasil yang cukup memuaskan di Piala Dunia 2018 (mencapai semi final), sebelum Piala Eropa 2020 ini dimulai, pasukan Gareth Southgate paling dijagokan oleh bandar taruhan dunia. Hanya kalah dari Perancis. “Football Comes Home” lagi-lagi menyeruak (nggak kapok kapok).
Euro 2020: Inggris adalah Inggris?
Tapi Inggris adalah Inggris. Sepertinya lebih besar hype daripada performance.
Tiga pertandingan awal dijalani dengan tidak impresif. Walaupun lolos sebagai Juara Group E dan tanpa kebobolan sekalipun, pendukung Inggris (termasuk saya) merasa kecewa. Pola permainan yang terlalu berhati-hati menjadikan talenta pemain seperti Grealish, Foden atau Mount tidak terlihat. Salah satu statistik dari OptaJoe menyebutkan Inggris hanya memainkan bola ke depan dengan kecepatan 0.98 meter per detik. Paling rendah dibanding seluruh tim yang ikut Piala Eropa. Alhasil, tidak banyak peluang yang tercipta. Inggris hanya mencetak dua gol. Menontonnya pun bikin ngantuk.

Memang sih, Jonathan Wilson, salah satu pundit sepakbola dari Guardian berpendapat bahwa pola main Inggris yang membosankan ini, malah bisa jadi kekuatan di partai gugur. Sejarah membuktikan kalau tim yang biasanya juara di Piala Dunia atau Piala Eropa, adalah tim yang permainan bertahannya solid. Ingat Portugal di tahun 2016? Dan sedikit banyak begitu pula Perancis, juara dunia tahun 2018.
Tapi jangan lupa juga, kalau Portugal di 2016 memiliki Cristiano Ronaldo, dan Perancis di 2018 memiliki Kylian Mbappe. Dan bermain atraktif saat sudah sampai di sepertiga area serang. Yang menjamin datangnya gol-gol kemenangan.
Hal ini yang belum terlihat di timnas Inggris saat ini. Harry Kane, kapten timnas Inggris yang baru saja menyabet gelar top scorer dan top assist di musim Premier League musim lalu, masih melempem. Ia terlihat lelah dan lambat di dua pertandingan awal. Hanya di partai terakhir lawan Republik Ceko yang lumayan. Tapi top scorer Piala Dunia 2018 ini belum menciptakan gol.
Dan yang menyedihkan memang tidak ada peluang yang bisa dimanfaatkan Kane. Akibat permainan lambat dan defensif ala Southgate ini.
Jadilah kini Inggris jadi tidak terlalu diunggulkan. Tempatnya sebagai favorit juara pendamping Perancis digantikan oleh Italia yang bermain impresif.
Dan dalam kondisi seperti ini, di hari Selasa depan, the old adversary is waiting. Timnas Jerman yang walaupun juga tidak terlalu impresif kali ini, tapi seperti kata orang: “German is German. They always win”
Kalau di tahun 2006 saya menulis dengan penuh optimisme terhadap peluang timnas Inggris, kali ini saya lebih realistis. Belajar dari pengalaman. Walaupun masih menyisakan harap. Karena kalau bisa melewati Jerman, jalur Inggris ke Semi Final dan Final relatif lebih mudah. Dan itu akan berlangsung di Wembley. (Semoga) Football comes home. Again.