
Salah satu yang aku ikuti dari Mas Oyi adalah kegemaran terhadap olahraga sepakbola.
Dari kecil, aku selalu diajak main bola sama Mas Oyi. Saat kita pertama datang di Bontang, Kalimantan Timur, salah satu kenangan pertama aku di sana adalah main bola sama Mas Oyi. Bareng dengan tetangga dekat: David dan John Batubara dan Gerrard Lilipaly. Kita main bola gak pake sepatu, dan pakai kaleng atau batu sebagai gawang. Khas anak-anak jaman itu.
Dari dulu Mas Oyi selalu jadi penyerang. Aku sebenernya juga pengen jadi penyerang. Tapi kalau main di halaman rumah berdua, aku selalu disuruh jadi kiper. Scene tendangan penalti. Hehehe, big brother’s privilege. Sampai pernah aku nangis mengadu ke Mamah. Karena sebel hanya disuruh jadi kiper dan ambil bola yang ditendang keras dan jauh sama Mas Oyi.
Kegemaran kita main bola tentunya menjadikan kita juga sebagai fans tim sepakbola. Tapi sedari awal, entah kenapa saya dan Mas Oyi tidak pernah mendukung tim sepakbola yang sama. Pada Piala Dunia 1982, turnamen sepakbola pertama yang saya ingat menonton secara intens, saya mendukung Italia. Mas Oyi Jerman Barat. Saat itu saya yang bergembira karena Italia dengan Paolo Rossinya berhasil jadi Juara Dunia mengalahkan Karl Heinz Rummeneige dkk.
Dalam perjalanannya, timnas yang saya dukung berganti-ganti. Dari Italia terus ke Belanda, dan terakhir Inggris. Kalau Mas Oyi tetap istiqomah dengan Jerman-nya. Saling ledek dan hina soal tim kebanggaan ini sudah jadi tradisi keluarga. Sialnya, Mas Oyi lebih sering meledek saya. Karena Jerman umumnya lebih mumpuni di turnamen internasional.
Nah lain tim nasional, lain klub professional. Mas Oyi fans berat AC Milan. Karena klub dukungan kami beda negara, Mas Oyi lebih sering mendukung siapa pun rival tim favorit saya, Manchester United. Liverpool, Manchester City, Leicester City.. name it. Kalau Manchester United lagi kalah atau jeblok permainannya (yang mana sering sih akhir-akhir ini), saya pasti siap-siap menerima ledekan di sosmed. Huh.
Sebetulnya kalau dirunut kegemaran sepakbola ini diturunkan dari Almarhum Papa. Beliau juga fans sepakbola. Waktu kami kecil pernah dibelikan satu set lengkap perlengkapan bola di Samarinda. Dari bola, sepatu ber-pull, kaos kaki panjang, sampai glove kiper. Papa suka nonton kita main bola di halaman dengan tetangga. Kalau kata Papa Mas Oyi mainnya bagus, “kalau Nunu sukanya jatuh-jatuhan”. Hahaha entahlah.
Soal tim dukungan, Papa juga punya pilihan. Yaitu his hometown team: PSIS Semarang. Saat PSIS melaju ke final Perserikatan (liga sepakbola) di medio 80an, Papa mengundang diaspora warga Semarang yang ada di Bontang untuk nonton bareng di TV. Dengan suguhan kacang, teh dan kopi, suasana meriah. “Ribut Waidi, golek mangaan Buutt…” teriak Papah berkali-kali, diikuti sorakan dan tepukan aku, Mas Oyi dan supporter lain. Meriah sekali. Bisa dibayangkan suasana saat PSIS akhirnya menjuarai liga tersebut. Diaspora Semarang masih berkumpul, merayakan kemenangan di rumah kita sampai lewat tengah malam.
Hal tersebut sangat membekas. Makanya sampai kini, satu-satunya tim yang sama-sama kita dukung adalah PSIS. Eh pastinya Tim Nasional Indonesia juga ding (lihat foto kita pakai jersey tim ini)
Sepakbola juga jadi perekat unik keluarga kami. Kali ini dari sisi game sepakbola.
Sejak kecil, saya dan Mas Oyi sering tanding bola virtual. Game sepakbola pertama yang kita miliki adalah Pele’s Soccer. Di platform Atari. Sampai sekarang masih ingat momen di mana Mas Oyi mencetak gol pertama di game tersebut. Game sederhana, tapi perasaannya meriah.
Setelah itu, beranjak dewasa sampai kuliah pun kita masih suka tanding bola virtual. Mulai dari game PC Kick Off sampai Virtua Soccer.
Saat masih kuliah bareng Mas Oyi di Semarang, kita sering main bola sampai dini hari. Kadang bareng dengan sepupu, Fafan dan Hendy, lebih sering berdua saja. Saking serunya pernah tetangga sampai menghampiri untuk menegur kami karena mereka sampai tidak bisa tidur. Waduh.
Dari dulu kalah dan menang ini jadi prestis. Bragging right untuk meledek yang kalah. Yang paling kuingat adalah saat suatu malam aku kalah setelah berjam-jam tanding. Mematikan komputer, aku memadamkan lampu dan siap-siap tidur. Mata masih belum mau dipejamkan karena masih dongkol dengan kekalahan. Saat lagi ketap ketip menatap nanar plafon kamar, pintu tiba-tiba dibuka Mas Oyi. Menjulurkan kepala, melongok ke dalam pintu dan menampakkan wajah meledek. Sambil ketawa ngakak dia tutup pintu dan lari balik ke kamarnya. Sumpah kalau ada botol sudah kulempar. Siaaall. Hahaha.
Rivalitas tanding virtual ini berlanjut saat kami sudah berkeluarga. Saya dan Mas Oyi kedapatan satu lagi rival tanding: Mas Barry, suami Mbak Wiwik. Kita sering main bola bareng. Kali ini sudah eranya Play Station, dan game-nya Winning Eleven.
Kocaknya, saat adik bungsu kita, Chita mulai pacaran dengan suaminya sekarang, Bona, pertanyaan pertama yang diajukan Mas Oyi adalah, “bisa main bola gak pacarmu?”
Dan entah memang sudah jodoh, Bona juga fans bola, dan menggemari main bola di PS. Sampai-sampai ini menjadi ritual keluarga yang dinamakan Mas Oyi “Copa Kresnadi”. Acaranya ya ngumpul bareng. Bapak-bapak tanding bola turnamen virtual. Ibu-ibu ngeriung di meja makan. Dan anak-anak kumpul di kamar sambil do their stuffs. Acara bisa sampai seharian (bahkan kadang nginep), yang diakhiri dengan ritual foto bersama pemenang.
Copa Kresnadi terakhir berlangsung di Juli 2019. Surprise winner-nya Mas Barry. Sejak itu, karena Covid, kita tidak pernah lagi sempat mengadakan, karena Bona dan Chita yang kerja di KL susah untuk berkunjung ke Jakarta. Siapa sangka itu Copa Kresnadi yang terakhir kali kita adakan bareng Mas Oyi.
Semoga walau Copa Kresnadi sudah berakhir, semangat untuk kumpul keluarga yang dicontohkan Mas Oyi melalui sepakbola ini akan terus berlanjut. Aamiin.
Seri tulisan kenanganku bersama Almarhum Mas Oyi. Miss you so much, big brother. I will support AC Milan to win Serie A this year, for you!
One Comment Add yours