
Piala Dunia Qatar 2022 sudah dibuka semalam. Pertandingan pertama pun telah berlangsung. Tuan rumah Qatar terkena demam panggung. Juara Asia ini tunduk dari Ekuador 0-2. Bukan hanya tunduk. Tapi bermain buruk. Mengumpan tak bisa. Apalagi memiliki skema. Positifnya, isu miring kalau pemain Ekuador dibeli oleh otoritas Qatar untuk memberikan kemenangan tidak terbukti.
Isu miring memang menghiasi perhelatan Piala Dunia kali ini. Mulai dari isu penunjukkan Qatar yang kontroversial dan ditengarai berbau korup. Isu banyaknya korban jiwa migrant workers yang mengebut persiapan kejuaraan. Atau isu yang dihembuskan oleh kaum pendukung LGBTQ karena Qatar masih mengharamkan homoseksualitas. Isu-isu ini seakan menenggelamkan isu permainan sepakbola itu sendiri. Yang seharusnya lebih menjadi fokus.
Saya sendiri cukup sedih karena gagal berangkat ke Doha. Padahal di tahun 2018, saat Piala Dunia di Russia, saya sudah bertekad untuk kembali menghadiri pesta sepak bola empat tahun sekali ini. Apalagi lokasinya di Doha, Timur Tengah. Yang notabene lebih dekat dari tanah air. Negara muslim lagi.
Tambahan lagi saya sempat bekerja di Qatar National Bank (QNB). Bahkan sempat berkunjung ke Doha. Menilik salah satu stadion yang bakal menjadi stadion pertandingan Piala Dunia: Stadion Al Khalifa.

Apa daya, ternyata banyak hal yang membuat hal tersebut urung terlaksana.
Bergesernya waktu pelaksanaan
Hal pertama adalah bergesernya penyelenggaraan Piala Dunia. Yang sebelumnya di pertengahan tahun (Juni-Juli), ke akhir tahun (November-Desember). Kalau di tengah tahun adalah musim liburan. Umumnya karyawan kantor pun waktunya cuti. Sedangkan kalau di bulan November Desember ini, umumnya karyawan kantoran seperti saya masih disibukkan dengan budgeting. Baru menjelang akhir tahun liburan.
Dodol memang FIFA. Waktu memilih Qatar sebagai tuan rumah, apakah mereka nggak sadar kalau main bola di Timur Tengah di bulan Juni-Juli itu tidak memungkinkan? Jadilah kemudian setelah terpilih, baru merencanakan penyelenggaraan di akhir tahun. Sibuk menyesuaikan jadwal kompetisi yang tengah berlangsung di hampir semua liga utama dunia.
Kurang beruntung mendapatkan tiket
Hal kedua adalah kali ini kita kurang beruntung dalam mendapatkan tiket. Kalau empat tahun lalu, dengan bimbingan teman saya Ubai, kita berhasil mendapatkan lotere tiket Piala Dunia. Kali ini tidak seberuntung itu. Di dua kesempatan kita mendapatkan tiket, kita tidak berhasil memenangkan undian .
Tapi juga memang hal ini berkaitan dengan lokasi dan waktu. Karena berlangsung di Doha, yang notabene bukan tempat wisata yang menarik dikunjungi (berdasarkan pengalaman saya dua hari berada di Doha), maka kami hanya mencari waktu seminggu berada di sana. Membeli 2-3 tiket pertandingan. Dan kami memang mencari tiket babak grup akhir dan perempat final. Yang high demand. Padahal kalau mau “asal dapat” sih kita bisa saja mencari tike perebutan juara 3-4 yang sudah kita rasakan di Russia. Tapi karena itu sudah di penghujung turnamen, waktunya sudah mendekati pertengahan Desember. Di tanggal segitu, banyak pekerjaan penting harus diselesaikan sebelum libur akhir tahun.
Sebetulnya kalau mau bener-bener usaha mungkin bisa dapat sih tiket dari secondary market. Cuman pastinya tetap mahal, dan mungkin sedikit rempong dalam pengurusan visa. Karena seperti halnya di Russia, visa diterbitkan bagi yang namanya menjadi pemegang tiket. Artinya harus mengurus sendiri turis visa ke Qatar, which will add some more cost and burden.. meanwhile…
Harga-harga yang luar biasa mahal
Yang ketiga adalah harga akomodasi yang luar biasa mahal di Qatar. Bermukim di Fan Village membutuhkan biaya 3,25 juta per malam. Padahal tinggal hanya seperti di tenda. Di harian Kompas dan laporan BBC News kemarin melaporkan beberapa fans sepakbola yang hadir menginap di Fan Village merasa kecewa. Harganya yang mahal tidak mendapatkan kualitas penginapan yang pantas.
Alternatifnya adalah di hotel atau apartment. Tapi ini bisa lebih dari 5 juta semalam. Bahkan banyak yang di angka double digit. Ajegile. Di Russia kemarin, satu apartment Air BNB hanya membutuhkan biaya 2 juta semalam. Itu pun dapat dihuni sekeluarga.
Semua hal ini membuat keinginan kita ke Qatar menyurut. Sudahlah, mungkin memang kali ini kita harus menyaksikan dari tanah air.
Siapa yang Anda unggulkan?
Football is Coming Home?
Kalau saya sih masih berharap pada Inggris. Football is coming home. Hahaha.
Tapi bukan tanpa alasan. Tim asuhan Gareth Southgate ini masuk semifinal di dua turnamen major terakhir. Semifinal di Piala Dunia 2018, dan Finalis di Piala Eropa 2020. Dan Southgate tetap bersikukuh mengandalkan pemain berpengalaman yang sudah ia percaya sejak 6 tahun yang lalu. Maguire, Henderson, Pickford bukanlah nama-nama yang sedang bersinar cemerlang di klubya. Namun tampaknya Southgate masih melihat pengalaman tampil di panggung tertinggi dunia bernilai tinggi.

Untungnya Inggris tak kekurangan asupan bakat. Talenta muda seperti Saka, Bellingham, Foden terlihat moncer di klubnya masing-masing musim ini. Rashford pun kembali ke sosoknya yang penuh kepercayaan diri. Performa ini tentu diharapkan terbawa di Piala Dunia kali ini. Karena waktu tandingnya yang hampir tanpa jeda dengan kompetisi liga mereka.
Or is it time for Messi?
Kalau bukan Inggris yang juara, sama juga dengan tahun 2014 dan 2018, saya juga mendukung Argentina. Bukan kenapa-kenapa. Tapi karena menurut saya, untuk salah satu pemain bola yang paling hebat sepanjang sejarah, sepertinya kurang lengkap kalau Lionel Messi tidak meraih Piala Dunia. Apalagi Argentina baru saja meraih Piala Amerika tahun lalu. Dan tim ini tidak terkalahkan dalam beberapa tahun terakhir.

Performa Messi pun di PSG tahun ini, sepertinya menunjukkan kalau ia sudah melupakan kisah tragis akhir karirnya di Barcelona. Padu dengan Neymar dan Mbappe, Messi masih menunjukkan kelasnya sebagai pemain elit dunia. Ia sudah kembali bermain dengan senyum. Kaki kirinya masih sangat lincah dan berbahaya di daerah pertahanan lawan. Menarik untuk ditunggu kiprah Messi di Piala Dunia kali ini. Dengan timnas Argentina yang semakin nyetel bermain dengannya.
Mari kita nikmati pesta sepakbola empat tahunan ini. Walaupun kali ini hanya dari layar kaca negeri sendiri.
